Menghadapi Dunia 'Kebebasan'

Dunia yang mereka sebut dengan ranah kebebasan, memilih dan bertanggungjawab mandiri pada setiap konsekuensinya. Namun aku lebih senang menyebutnya dengan dunia tanpa proteksi dan toleransi.

Kuliah. Beberapa waktu yang lalu sebelum sampai di penghujung putih abu ini, sempat ingin mempercepat waktu, melemparkan seragam penuh aturan itu ke tempat sampah, karena ingin merasakan betapa lapangnya dunia kuliah yang sarat dengan pilihan, tetapi  barulah di akhir, ternyata nampak kalau yang namanya "Kebebasan Memilih" adalah "Keharusan Memilih" .

Ya, kata 'harus' jelas berbeda dengan kata 'bebas'. Kata 'harus' menandakan sudah bukan saatnya lagi kita boleh meraup semuanya, tetapi saatnya kita harus memutuskan mengambil yang terbaik dari semua yang kita anggap baik. Setiap pilihan penuh dengan konsekuensi yang tidak main-main, memilih sesuatu untuk bertanggungjawab terhadapnya. Mungkin inilah salah satu alasan kegalauan seorang anak kelas 3 di akhir masa pelajarnya.

Dunia kuliah itu gersang dan rumit, pikiran dangkal dan kekanak-kanakan akan musnah terinjak karena tak bisa beradaptasi dengan sistem perkuliahan yang jauh berbeda dengan sistem SMA dan sebagainya. Yang terbaiklah yang bertahan, tidak ada lagi toleransi konservatif yang melindungi individu lugu dan tidak 'capable' terhadap  keadaan. Tiada lagi yang namanya pengajar merangkap sebagai pendidik karakter maupun 'the second parent' . Dosen adalah dosen, tetapi semoga saja dosen yang kutemui adalah dosen berjiwa pendidik dan masih peduli terhadap kualitas moral mahasiswanya. 

Ada informasi yang mengatakan, saking bebasnya, beberapa alumni yang kini menjadi mahasiswa hilang entah ke mana, terbawa arus gerombolan berpaham hitam tak bertanggungjawab. Itu karena di perkuliahan, kita tak lagi dikekang dalam melangkah, tak lagi diwanti-wanti dalam berpikir dan bertindak, gerakan tak lagi dibentengi oleh wejangan dari para pendidik, yang ada hanya satu, ya kehendak kita saja. You just do it, and no one will warn you.

Dunia kuliah yang begitu liar, rawan depresi, bahaya tergelincir dan kemudian hancur. Dunia yang mengharuskan kita mampu bertanggungjawab dan mandiri terhadap segala aturan mainnya. Dunia yang mengharuskan memilih, it's the part that I'm not ready yet, karena kekayaan dunia masih terlalu sayang untuk dipilih-pilih, di mata seorang anak putih abu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB