Cerpen: Bahasa yang Tak Dapat Diandalkan



Bahasa menunjukkan bangsa, yah setidaknya itu yang kupikir. Hingga akhirnya gawai tergantikan oleh gadget, ketika renjana tergantikan oleh passion, dan ketika merenung, terakhir kali kudengar sebagai kata lain dari berkontemplasi. Semoga negeri ini tidak kehilangan identitasnya.

Telah banyak padanan kata dalam bahasa asing yang diserap oleh bahasa negeri tercinta ini. Sampai mereka pun kerap lupa untuk mengingat, sudah sejak kapan obrolan mereka menjadi se-inggris itu, se-Negeri Van Oranye itu, se-Arab itu, dan kita tidak bilang soal se-Cina itu karena untunglah mereka masih takut diminta untuk menuliskannya dalam huruf  Hanzi atau mandarin.
Yah Bahasa Indonesia memang sungguh sangat kaya dan juga ajaib! Karena ia mampu menyerap berbagai ragam bahasa asing menjadi seolah-olah lumrah dan begitu saja dicap sebagai bahasa baku Indonesia yang baik dan benar.

Tapi aku masih ragu, apakah bahasa ini masih bisa menyerap seluruh bahasa setelah komputerku mengesktrak Scilab pada layar monitornya. Yah, bahasa Scilab, bahasa pemrograman yang kubenci. Adakah cara lain untuk membahasakannya dalam bahasa sendiri, ketimbang harus memenuhi serangkaian karakter dan variabel yang kupikir apa pola dan pertandanya kalau pemrograman ini sudah mencukupi kriteria berhasil, atau gagal total! Kalau tak bisa dicompile di mana salahnya? Tentunya bahasa Indonesia tak mampu mencari selah menerjemahkannya, hanya ilmu eksak, unsur yang sama sekali jauh dari koridor linguistik. Aku yakin bahasa Indonesia kali ini tak bisa diandalkan untuk menerjemahkan makna di setiap antarmuka yang rumit ini, dan menjadi kekurangan satu-satunya, sampai akhirnya…

Penampilan UKMR ITB itu sangat memukau, tentu saja apalagi yang kupikirkan tentang tugas pendahuluan Scilab melainkan hanya sebatas TP yang bobotnya tidak terlalu berpengaruh kalau tidak dikerjakan. Jadi kuputuskan untuk melihat  Teater Seni kebudayaan unit yang satu ini saja. Sebagai wujud apresiasi terhadap kekayaan ragam seni budaya bangsa, ceritanya. Padahal fokusku satu, menonton temanku yang ikut menjadi bagian dari laga pementasan drama dengan tarian dan music yang ciamik.Sebagai teman bukankah kita harus membuktikan teori kepedulian dan simpatisasi? Yah tadinya kupikir itu yang menjadi daya tarik satu-satunya aku menonton pertunjukan seni budaya ini sampai akhirnya….

Makhluk badai itu hadir, menatapku dengan penuh selidik.  Entah apa yang dilakukannya di sini, kupikir dia adalah pribadi yang gemar belajar sebelum minggu perkuliahan besoknya dimulai, karena ini adalah hari Minggu. Hari di mana setiap bayangan hari Senin, Selasa, dan seterusnya adalah mimpi buruk yang harus dipersiapkan karena serangkaian tugas dan kuliah yang menyita waktu dan membosankan akan siap melenyapkan atmosfer surga dunia akhir pekanmu. Namun itu tidak terlalu penting dibandingkan gelagat keheranannya melihatku sendirian, di tengah hiruk pikuk keramaian. Siapa kira orang ansos di himpunan sepertiku bisa begitu respek dengan acara kebudayaan kampus yang berslogan cinta budaya cinta tanah air seperti ini.

 Acara saat itu baru akan dimulai, aku dan Karina, makhluk badai yang rupawan itu, dipertemukan dalam antrian panjang pemeriksaan tiket masuk. Tak ambil pusing aku pun hanya melayangkan senyuman dan masuk ke pintu tepat ketika acara sedang hendak dimulai.

Tentunya bahasa Indonesia tak bisa pula menerjemahkan ini. Sebuah perasaan yang kata orang bisa diwujudkan dalam kata-kata indah dalam bahasa Indonesia. Sebuah degup getar perasaan kacau balau, entah kangen, entah merinding, yang muncul begitu saja tatkala melihat mata indahnya dan rambut panjangnya. Khas-khas model wanita dalam majalah Kartini. Siapa kira aku harus repot-repot menerjemahkan bahasa yang satu ini. Bahasa Cinta. Bagaimana cara menemukan padanannya? Akankah makna penasaran, suka, sayang, atau sekadar gairah biologis bisa menjadi satu makna kala konteksnya berada dalam ranah Bahasa Cinta. Dan apakah itu penting? Selain pikiran yang kemudian mendadak melayang ke area nonsusila. Membayangkannya saja cukup menghabiskan waktu setara menunggu delay jadwal penerbangan Pesawat yang terlambat selama 2 jam.

Camkan ini, bahasa Indonesia yang bagaimana yang bisa kuandalkan untuk mengantisipasi debar jantung yang kian berdegup kencang seiring sosoknya yang kian mendekat dengan segala rasa penasaran di kepalanya. Ia, Karina, perempuan sejurusan yang hanya bisa kupandangi dan kukagumi dari jauh karena kedekatan dengannya hanya memancing perasaan ini menguat dan mengalir deras. Ia yang membuatku memilih untuk membenci segala aktivitas di himpunan karena hanya akan membuatnya dan membuat diriku berada dalam frekuensi kegiatan yang begitu sering dan mengunci dalam frozen moment yang sepertinya tidak akan ada habisnya. Ia yang membuatku nyatanya tidak dapat mempergunakan Bahasa Indonesia dalam intonasi dan artikulasi yang jelas dan wajar setiap kali terpaksa terlibat obrolan dengannya. Ia yang kulihat telah menghadang jalan pulangku dari acara UKMR yang sudah selesai dan bertanya di depanku dengan mantap.


 “Eh Wan, kamu nonton juga? Sama siapa?”


Kira-kira bahasa Indonesia seperti apa, yang bisa kuandalkan di momen yang paling membingungkan ini.













Catatan:
Cerpen pertama penulis, sedikit untuk mengasah kuku.
Dibuat tanggal 17 April 2016. Pukul 12.00-13.00 WIB

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB