Dari Pojok Pikir Manusia yang Tuna Metamorfosa
Masa-masa kuliah adalah cerminan
dari sepenggal perjalanan hidup. Empat tahun yang dilalui dapat menjadi penuh
warna atau hanya seberkas cahaya monokrom, itu hanya soal pilihan. Namun, yang
terpenting adalah apakah selama 4 tahun tersebut telah nampak perubahan yang
terjadi pada diri ini? Sesignifikan itukah?
Sebagai mahasiswa Teknik Fisika ITB
2013, perjalanan demi perjalanan telah saya lewati. Entah berupa kisah haru
biru maupun yang suram dan seram, pada akhirnya akan menjadi serangkaian proses
yang semestinya membentuk diri saya di penghujung kemahasiswaan ini.
Teman-teman saya telah menemukan
jalan hidup mereka, peran terpenting dalam hidup mereka sesungguhnya. Yang di
UGM benar-benar mantap memutuskan mengorbankan organisasinya atau akademik, tak
luput pula menuangkan hobinya dalam sebentuk fanfic manga yang sudah memiliki barisan
penggemarnya tersendiri, yang di ITS, seakan menemukan belahan hati yang selama
ini dicari, menjadikan hari-harinya tak pernah lepas dari eksplorasi sudut kota
dan sesekali mengabadikan romantismenya dalam sebuah wujud foto tanpa caption.
Yang di UNS semakin memberdayakan dirinya untuk masyarakat, dan melanjutkan
benderang kehidupan berorganisasinya yang ia rintis dari masa SMA, sementara
yang di UI mengisi hari-harinya dalam ruang diskusi permasalahan sosial
ibukota.
Sementara saya masih termangu dan
meraba-raba. Hendak menjadi apa saya esok hari? Kata orang setiap orang akan
menemukan ‘The Real I am’ nya masing-masing pada usia 21 yang seharusnya sudah
cukup matang ini. Namun tak sedikit pula dari kita yang merasa masih menjadi
amoeba, tak jelas bentukannya apa. Hingga kemudian orang pun akan bingung
mendeskripsikan diri kita hendak seperti apa.
Babak demi babak kehidupan sebagai
mahasiswa ITB telah saya lalui. Dari mulai mengikuti empat pelantikan
organisasi, menonton berbagai pertunjukan unit kebudayaan ITB untuk menambah
kecintaan dan kepekaan terhadap budaya Indonesia, mengikuti seminar ini seminar
anu, berpartisipasi di berbagai kepanitiaan, berefleksi diri dengan
berkonsultasi di bimbingan konseling kampus, mengikuti kunjungan alumni,
kunjungan ke acara kick Andy, kunjungan ke Majalah Gatra di Kalibata, dan
sebagainya, mendatangi segala event-event kota di Bandung, menghayati hingar bingar pertunjukannya
dan mencoba mencari esensi yang ingin disampaikan di dalamnya, mencicipi
sebanyak lebih dari 50 ragam kuliner di Bandung, mulai dari sesimpel nasi
goreng , sehedon saladnya maja house, semerakyat hidangan rumah Bu Imas ataupun
Ceu Mar, ataupun sehistoris roti gandum coklat di jalan gempol. Saya pun telah mendatangi berbagai
tempat wisata alam di Bandung dan juga bergabung dalam kegiatan salah satu
komunitasnya, yaitu Aleut untuk melihat sisi-sisi Bandung yang tidak biasa yang
selama ini kurang tersohor pada brosur wisata maupun website di internet.
Acara-acara terpusat di kampus pun tak jarang saya datangi untuk mereguk pola
pikir dan semangat bermimpi dan bergerak dari kemahasiswaannya.
Akan tetapi, sepertinya ada sesuatu
yang salah. Semestinya asam garam kehidupan kampus dan juga Bandung pada
umumnya paling tidak akan mengembangkan seseorang menuju kepribadiannya yang
lebih baik lagi. Nyatanya saya tak merasakan perubahan itu secara signifikan
pada softskill maupun hardskill.
Beberapa aspek diri yang saya tinjau
tak ada perkembangan yang berarti, di antaranya:
1.
Dari segi kemampuan menyampaikan gagasan pikiran,
saya belum bisa menjadi pembicara yang baik di depan umum. Tak mampu
menyampaikan gagasan yang menarik perhatian dan diterima oleh massa tempat saya
bernaung. Dalam konteks yang lebih personal pun, saya masih belum bisa membagi
value-value yang berguna buat teman maupun adik unit dan adik tingkat saya. Ini
tentu bertolakbelakang dengan kenyataan bahwa saya sering mengikuti forum-forum
diskusi kampus. Mengapa saya tak bisa belajar? Apakah hidup saya memang lebih
banyak dipenuhi oleh unsur nirfaedahnya. Saya tak mengerti, boleh jadi selama
ini saya memang tidak pernah serius mengikuti prosesnya, hanya selewat dua
lewat kemudian hilang dari pikiran seiring pergantian hari . Alhasil tak ada
satupun babak-babak kehidupan kampus yang meninggalkan jejak dan memberi
sesuatu pada perkembangan pola pikir saya.
2.
Dari segi tulisan, beberapa teman mengatakan
potensi diksi saya bagus, hanya saja alur tulisannya masih sering tersesat.
Mungkin itu karena obsesi saya untuk menyuguhkan berbagai macam informasi
sedetil-detilnya, sebanyak yang saya tangkap dalam wujud satu tulisan yang
padu. Akan tetapi jatuhnya malah tidak fokus dan menjadi kurang enak dibaca dan
akhirnya masih belum memenuhi kriteria tulisan yang layak menjadi konsumsi public.
3.
Dari segi kemampuan berkomunikasi untuk
mengambil hati dan memengaruhi orang lain pun saya masih belum bagus. Padahal
saya sering berhubungan dengan figure-figur kampus yang sanggup memengaruhi
orang lain dengan sepatah dua patahnya katanya saja. Mengapa saya tidak bisa
meniru? Saya juga ingin seperti beberapa orang figur di himpunan yang
keberadaan mereka selalu menarik perhatian dan dinanti oleh orang lain. Setiap
cuap kata yang keluar dari mulut mereka dapat menghibur orang di sekitarnya.
Saya belum seperti itu dan kerap mengalami frozen moment, apalagi kalau lawan
bicara saya hanya satu, topik habis berikut antusiasmenya.
4.
Sebagai mahasiswa teknik seharusnya saya
menguasai paling tidak satu atau dua software, seperti pemrograman matlab atau
pun solidwork. Yang ada hanya kata ‘boro-boro’. Boro-boro mau menjadi ahli di
software-software yang bersifat keteknikan seperti itu apabila bikin slide
presentasi saja masih belum bisa bagus.
5.
Dilihat dari skill olahraga, tak ada olahraga
spesifik yang saya kuasai, bahkan memenuhi kualifikasi sekadar bisa pun juga
jauh dari cukup. Saya merasa tertekan ketika mayoritas laki-laki di lingkungan
akademik saya senang dan bisa olahraga seperti futsal, pingpong, atau tenis
meja. Inferior kompleksitas saya semakin menjadi-jadi ketika kaum perempuan pun
memiliki skill olahraga yang ternyata tak kalah jago, dari mulai basket sampai
bulutangkis.
6.
Melihat dari segi ibadah, cara membaca al-qur’an
saya pun masih belum indah untuk didengar. Sudah begitu makhrajnya juga belum
benar.Padahal ada orang-orang hebat yang entah mengapa mereka bisa
menyeimbangkan antara skill membaca al-qur’an, akademik, dan juga olahraga.
Saya tak tahu peran apa yang bisa saya mainkan. Saya tak mau menjadi tuna karya
tetapi di sisi lain terlalu inferior untuk menjual bakat, yang mungkin hampir
tidak ada yang benar-benar jumawa untuk diperkenalkan.
7.
Saya kemudian menggali lagi dari sisi yang lebih
sederhana. Hmm mungkin skill bernyanyi karena hampir di setiap kondisi yang
tidak memungkinkan untuk berbuat apapun selain melantunkan lisan saya isi
dengan bernyanyi. Kata orang hal yang berulang-ulang dilakukan akan membuat
kita ahli akan hal itu bukan? Kenyataanya sama saja, entah karena kurang minta
feedback atau tidak ada bakat sama sekali, teknik olah vocal saya masih payah,
tambah lagi dengan kecadelan yang menyertai, lengkap sudah. Saya juga sudah
berulang kali mengambil gambar dengan kamera hp saya, tetapi sama saja, mungkin
saya benar-benar butuh coach agar tau apa yang seharusnya saya lakukan.
Jika sudah begitu ke mana 3 setengah
tahun yang telah saya lalui? Skill apa yang bertambah dan berkembang setelah
saya menjalani dan melalui berbagai macam hal di kampus ganesa ini? Softskill
mana yang benar-benar terbentuk? Saya sangsi itu ada. Tak merasanya ada dampak
berarti dalam diri saya mengantarkan saya menjadi pribadi yang pamrih. Saya
ingin melakukan sesuatu kalau ada bayarannya, entah itu dalam bentuk honor
secara harfiah ataupun sesuatu yang bisa ditulis di CV. Saya mulai mengajukan
diri menjadi pengawas ujian ini pengawas ujian anu, dan pekerjaan berprofit
lainnya. Idealisme sebagai mahasiswa untuk bergerak tanpa pamrih saya
tanggalkan begitu saja. Saya ingin mengikuti ajang-ajang yang bersertifikat
seperti seminar, workshop, maupun lomba agar setidaknya ada yang bisa
dicantumkan di CV. Saya mulai begitu apatis dengan kegiatan-kegiatan kampus
yang tidak menambah poin konkret pada CV saya. Menjadi staf terlalu biasa, tak
menarik untuk diceritakan dalam wawancara kerja. Ya sudah saya mulai
meninggalkan segala aktivitas kampus yang kurang memberi efek real pada
kepribadian saya selain hanya nilai-nilai yang cenderung general, saya fokus
saja ke akademik atau kegiatan – kegiatan yang lebih memiliki hasil konkret,
seperti honor.
Sebenarnya yang saya tuju itu apa? Betul kata teman saya, saya tidak jelas. Selama ini saya tak membatasi diri dan memberi prioritas terhadap hal-hal apa yang benar-benar menjadi kejaran saya. Akhirnya begini, akademik tak menentu, kontribusi di organisasi pun tak pernah membuahkan dampak yang benar-benar nyata. Jika saatnya reoni nanti hendak bercerita apa saya nanti? Hendak ke mana saya akan melabuhkan diri untuk kembali karena tak ada hal yang mereka ingat dari saya, rekan-rekan yang pernah terlibat dalam sistem kerja yang sama.
Mungkin selama ini saya terlalu terobsesi
untuk menguasai multiskill tanpa memikirkan relevansi dan eksekusinya secara
nyata. Kurang mengasah skill-skill itu dengan lebih mendetil. Saya memang tidak
fokus, tidak menekuni dan mengembangkan bidang yang sama secara berulang-ulang.
Padahal aktualisasi kemampuan diri terbesar diperoleh dari latihan
berulang-ulang dengan perbaikan dan terus mencoba segala metode tanpa kenal
rasa bosan. Tak lupa meminta saran dan tanggapan dari orang lain, walau
konsekuensinya ditolak, dikritik dengan pedas, di-judge dan sebagainya, tetapi
itu memang sebuah risiko yang harus diterima apabila diri ingin berkembang.
Selalu ada jalan sukar mendaki yang harus ditempuh dengan kesabaran demi
perkembangan diri dan selalu ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk
mencapai tingkat aktualisasi diri tertinggi, entah itu menyangkut perihal waktu,
harta, tenaga, pikiran, dan juga harga diri.
Dan mungkin tulisan teman saya yang satu ini ada benarnya Ngga Fokus Euy
Dan mungkin tulisan teman saya yang satu ini ada benarnya Ngga Fokus Euy
Komentar
Posting Komentar