Melapang: Tak Semudah dan Seindah Membaca dalam Cerita

Alasan ingin ikut Eka melapang
      Hari Sabtu, tanggal 20 Mei 2017, seharusnya saya mengikuti ujian FE, yang mirip-mirip dengan tes kompre sebagai salah satu syarat untuk sidang. Berhubung saya tak bisa mengambil TA 2 di semester pendek dan juga kesiapan yang dirasa masih kurang,  agenda itu pun urung saya lakukan.
Weekend yang kosong, sepertinya merupakan kesia-siaan jika tidak melakukan suatu hal. Sekitaran jam 8, saya membuka chat di salah satu grup line. Teman saya, Eka, seorang mahasiswa geologi mengajak saya untuk ikut melapang di Lembang, katanya sih cimpi-cimpi di sekitaran daerah The Lodg* Maribaya. Wah, kesempatan yang baik untuk mengetahui dan mendapatkan pembelajaran seperti apa medan yang dilalui seorang anak gea untuk mengambil  data sebagai bahan TA-nya, meski tak ada kaitannya sama sekali dengan jurusan saya.

Hambatan perjalanan pulang pergi
Kami berpergian ke daerah sekitaran Maribaya-Cibodas, yang katanya terdapat singkapan-singkapan bagus untuk bahan mapping geologinya Eka. Relief jalan Lembang yang menanjak nyatanya tak cukup mudah untuk dilalui menggunakan motor trail. Tak cuma sekali, saya sebagai yang dibonceng harus turun karena motor yang tidak kuat ketika melintasi bolongan berkerikil di jalan. Apalagi kalau di depannya ada mobil yang menanjak dengan sangat lambat atau bahkan berhenti tiba-tiba. Waswas dan takut silih berganti, daripada mengambil risiko tergelincir saya memilih turun dan menyusul dengan setengah berlari ke motor Eka yang sudah menunggu di atas.
Jalur ke daerah observasi pada saat berangkat harus melalui beberapa tanjakan yang curam berkali-kali, pada saat pulang pun motor juga harus menanjak karena memang rutenya yang naik curam dan turun curam di beberapa titik. Mungkin jika menggunakan metic, intensitas saya turun dan berlari sepanjang tanjakan akan lebih banyak lagi.

Hal-hal mengesankan dari sang geologis
  
“Ka kenapa alat ini lu bawa juga, kan ga dipake, cuma bikin berat?” Tanya saya ketika melihat isi tasnya dengan dua perangkat geologi di dalamnya.
“Biar gua ga kelupaan, itu alat-alat harus selalu dalam tas itu.”
“Pernah gak sih anak geologi ketinggalan barang?”
“Gua sering, tapi untungnya pas balik buat ngambil masih bisa diselamatkan.”

“Masih mending kalo buku tulis yah yang ketinggalan.”
“Gua daripada catatan buku tulis kuning berharga ini, mending palu seharga 1 juta deh yang ilang Kan ga lucu ngulang dari awal.”

"Bagaimana cara kalian tahu kalau ini tuh singkapannya memang bagus, ini batunya pasti jenisnya ini, kan umumnya di alam heterogen."
"Kita dipaksa tau untuk itu."

Dan berbagai obrolan absurd lainnya yang akan menjadi tulisan tersendiri kalo dibeberkan semua di sini.

Medan daerah observasi Eka memang tidak bisa langsung dimasuki motor. Perjalanan ke daerah singkapannya harus diperpanjang dengan berjalan kaki menyusuri ladang dan sawah. Area penelusuran terbagi menjadi empat distrik dengan berbagai mode pemarkiran motor. Daerah I motornya ditinggal begitu saja di bawah pohon, daerah II motornya dititipin abang bakso (dan pas kami kembali, abang baksonya hilang), daerah III diparkir di samping masjid, dan daerah IV dititipin di pekarangan rumah ibu-ibu yang sedang berada di dapur. Perlu rasa percaya yang tinggi terhadap orang-orang sekitar dan juga tawakal yang luar biasa untuk meninggalkan motor begitu saja. Hal yang belum bisa saya terapkan sekarang ini.

Tempat-tempat dan cara masuk tak terduga
Daerah I
Daerah I ini merupakan daerah observasi tebing atau cadas yang paling modern karena ada di lingkungan perumahan.

“Sungainya sudah dibeton.”  Komen Eka, yang saya rasa lebih pantas disebut selokan besar.

Di tempat ini terdapat tebing. Eka mengeluarkan palu dan menetak tebingnya untuk mengambil sampel batu dan diidentifikasi jenisnya.  Satu sampel berarti untuk merepresentasikan pola pada singkapan di daerah ini.


“Jadi kalo setiap hari dilakuin penelitian di daerah ini, tebingnya amblas dong dikeruk mulu, diambilin cuplikannya?” Pertanyaan ‘bodoh’ yang dijawab Eka dengan  tawa renyah.


Daerah II
Di sekitaran daerah Cikawari, motor trail sempat salah jalan dan terjebak di antara ladang kol. Terpaksa harus memutar dengan cara menarik-narik dan mengangkat-angkat. Kerap kali motor tak sengaja merusak beberapa bunga kol dan plastik penutup tanahnya. Daerah Cikawari ini cukup indah, ada ladang yang dipenuhi dengan deretan bunga merah yang cantik, sayangnya saya tidak sempat mengabadikannya dengan video karena repot memegang palu.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke bawah menyusuri sawah-sawah yang mengacu pada suara retasan air sungai di kejauhan sebagai penanda titik yang dituju.

“Wah ada ular,” tukas Eka sambil melihat reptil dengan lingkar tubuh agak kecil serupa belut di sela-sela sawah.

Setelah menemukan titik observasi yang benar yang dideteksi oleh google map sebagai suatu daerah di dekat kampung Cikalung Pencelut, Eka melakukan pengukuran dan pengidentifikasian pada sebuah cadas.

Daerah III
Hal yang paling mengesankan dari tempat di daerah sekitaran Cibodas ini adalah… err bau kotoran sapi, dan minuman random yang terbesit adalah susu lembang.

“Di karsam kaya akan mineral atau singkapan, jalan kakinya enak, ga kayak gini.”

Kali ini memang tak banyak jalan kaki setapak yang terlihat, tujuan kami sungai, selalu sungai. Akses dibuat sendiri dengan melalui ladang-ladang yang seperti tak terawat (hampir beberapa daerah terdapat ladang-ladang yang terabaikan).

Di sini juga ada jembatan bambu tanpa pegangan dengan suara aliran  kali yang agak keras di bawahnya. Saya tak kuasa menahan rasa cemas berlebihan ketika melintasinya  entah kenapa. Mungkin karena sering nonton film horor tentang penjelajahan di alam.
“Gua tadinya mau menyusuri sepanjang sungai ini, tapi kan motor yang ada di masjid ga bisa ditinggal. Jadi harus naik ke atas lagi.”
“Kalo pas melapang bareng LIPI enak, drivernya bisa diajak kerja sama, kita turun menyusuri daerah singkapan, drivernya tinggal diminta jemput di titik-titik akhir.”

Yah begitulah, nyatanya penelitian seorang geologi di lapangan akan sangat apresiatif dan penuh rasa syukur terhadap pendamping perjalanan mereka yang juga bisa menyetir kendaraan yang sama untuk meningkatkan efektivitas dan mobilitas.

Titik observasi ada di daerah aliran sungai yang membentuk sebuah curug mini. Sepertinya Eka tidak mengambil sampel batu apapun di sini. Setelah jepret-jepret sedikit, kami ke atas untuk mengambil motor.

Daerah IV
Sudah masuk kawasan The Lodg* Maribaya dengan pohon-pohon pinus yang aduhai indahnya. Niat main di wahana The Lodg* urung dilakukan karena dirasa tujuan ke sini bukan untuk wisata sehingga persiapan ala-ala secara moril, finansial, dan materil dirasa sangat tidak maksimal.
Melihat warung dengan dasar arsitektur bambu sederhana dan batok-batok kelapanya, tetiba saja saya jadi ingin minum degan (nama lain dari kelapa) langsung dari batoknya. Walhasil saya meminta Eka untuk melipir dengan kompensasi total seharga Rp. 15.000,00 rupiah saja.

Tujuan kami lagi-lagi adalah sungai yang ada di dekat rimbunan hutan pinus di kejauhan. Kami tidak masuk lewat kawasan wisata The Lodg*, melainkan melalui ladang-ladang warga. Suasana menuju titik observasinya semakin mencekam karena beberapa alasan. Pertama, hari sudah menjelang maghrib, kedua gonggongan anjing di kejauhan, ketiga jalan setapaknya tidak terawat dan ada beberapa yang terputus (Eka hanya menggunakan instingnya untuk menemukan tapak demi tapak), keempat, penelusuran harus melalui medan berupa relief yang lebih mirip papan luncur di tanah-tanah miring dan lagi-lagi menginjak gundukan petak tanaman.

“Bade kamana.” Seorang ibu dengan anaknya yang tengah bersawah.
“Ka walungan Bu, panalungtikan.”
Seperti terdengar aneh bagi warga sekitar situ, apalagi mengingat hari sudah sangat sore. Bisa-bisa kami  dikira hendak bertapa pada lelembut penguasa sungai dan hutan. Kendati begitu, akan sangat tanggung kalau data terakhir tidak diambil karena sudah jauh berjalan kaki juga.

Akhirnya titik observasi terakhir pun dicapai, sebuah sungai yang merupakan sambungan sungai di daerah III, dengan batu-batu cantiknya di hadapan hutan pinus yang gagah perkasa sudah cukup memuaskan kami. Janji Eka bahwa ini adalah daerah eksplorasi terakhir pun terpenuhi.

Hal yang paling saya ingat adalah ketika kembali menuju jalan mobil. Panjat dan memanjat tak peduli baju dan celana akan kotor adalah satu-satunya cara mengejar waktu maghrib yang menjelang. Entah karena terlalu terburu-buru atau rasa cemas terhadap kemungkinan munculnya anjing yang menghadang tiba-tiba, atau juga karena jalannya yang terus menanjak, otot kaki dan perut rasanya lelah luar biasa, nafas tersengal-tersengal dan keringat bercucuran. Tak disangka kami pun digonggong oleh anjing yang untung saja tidak berani mendekat hanya menggertak. Begitu kami sampai pada rumah tempat kami menitip motor, prosesi melapang usai.

Hari itu ditutup dengan sejumlah kesan. Adalah perjalanan yang mengesankan menemani seseorang melapang dengan perbedaan massa tubuh 20 kg. Bukan apa-apa, karena kenyataannya saya banyak terengah-engah di penghujung hari akibat medan yang belum cukup bersahabat bagi orang dengan berat tertentu, butuh pembiasaan dengan berolahraga dan juga banyak berdoa.

Melapang anak Geologi ternyata bukan sekadar wisata ala-ala dengan petunjuk jalan dan kemungkinan yang selalu pasti, tetapi melapang adalah perihal penelusuran menerjang hambatan untuk meraih data penelitian atas misi mulia mengembangkan ilmu pengetahuan, yang harus dilalui prosesnya  sepenuh hati dengan kesiapan fisik dan mental.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB