Melihat Sisi Lain Jatiluhur Dari Bukit Lembu

Bukit Lembu merupakan objek wisata alam di daerah Purwakarta, tepatnya di Desa Panyidangan. Agak sedikit menggunakan usaha untuk menuju ke sana karena jarang ada angkutan umum yang melaluinya. Jika tidak punya mobil pribadi atau sewaan, alternatif kendaraan yang bisa digunakan adalah jasa pick up di sekitaran Pasar Anyar Sukatani.

Sebelum sampai di literally kawasan wisata Bukit Lembu, kami sudah harus melalui lika-liku jalan desa yang berkelak-kelok dan sempat cemas berkali-kali mungkin saja ada mobil yang muncul secara mendadak dari berbagai tikungan yang kami lewati. Apalagi saat melalui jalur short cut di Sukatani, mobil kami sempat harus masuk ke halaman rumah warga karena jalannya yang cuma bisa dilalui satu mobil.
Lokasi Gunung Lembu yang Diapit Waduk Jati Luhur


Kendaraan yang kami naiki hanya akan dapat mengantarkan sampai tempat pendaftaran pendakian Gunung Lembu, yang ditandai dengan sekawanan lembu atau kerbau di area parkir. Selebihnya harus ditempuh dengan berjalan kaki selama dua jam mendaki, menuruni, dan mendaki bukit lagi.

Tepat hari buruh 1 Mei 2017 yang ditetapkan sebagai hari libur nasional, kami berlima berkelana ke situs geografis Bukit Lembu. Alasannya? Pertama, karena perjalanan pulang perginya hanya menghabiskan waktu seharian. Kedua, karena bukit lembu termasuk daftar tempat wisata yang masih jarang terdengar. Akan berabe apabila waktu libur panjang seperti ini kami malah memilih tempat wisata yang terlalu ramai dipadati wisatawan.

Ekspektasi awal,  perjalanan akan terasa seperti ke tebing keraton dan juga menemui pemandangan yang standar ditemui di tempat manapun dengan ketinggian 600 meter. Beruntung kenyataan jauh lebih indah dari ekspektasi. Sepanjang perjalanan mendaki kami dibuat nyaman dengan hutan-hutan yang tidak terlalu rimbun sehingga mengurangi risiko tersesat,  tetapi juga tak terlalu gundul yang melindungi kami dari kepanasan.  Kebetulan kami pergi di waktu yang tepat, hari itu cerah dan tidak hujan, karena akan sangat berisiko sekali melintasi trek-trek bertanah yang licin dan berlumpur sehabis hujan dan juga ancaman petir.

Di pos inisiasi kami makan pecel. Sempat ada ide piknik di atas puncak bukit lembu menikmati sunset sore sambil melahap pecel. Singo edan, umpatan yang mungkin cocok menggambarkan bahwa agenda tersebut agak maksa untuk diejawantahkan. Mosok iya, dua jam mendaki trek yang agak terjal petantang petenteng bawa beberapa buah Tupperware berisikan mie, sayur, opak, dan kuah kacang? Walhasil pecel yang dibawa oleh teman kami, Ega, kami makan duluan di pos inisiasi. Pecelnya Uni Ega ini rancak bana guys, walaupun saya sangsi apa betulan pecel khas padang tuh pake mie sama opak kayak gini hihi..
Pos Inisiasi

Pendakian dimulai sehabis sholat zhuhur di titik inisiasi dan ditemani oleh seekor anjing. Kami langsung merasa gede rasa bahwa anjing itu sengaja ‘diinstruksi’ oleh penjaga pos inisiasi untuk memandu kami supaya tidak tersesat. Buktinya saja, pas kami berhenti karena capek akibat trek yang terus menanjak, anjing tersebut ikutan berhenti. Pas kami mulai jalan lagi, anjing itu pun berjalan. Tapi lamun ceuk teori jurnalistik mah, too good to be true, anjing itu akhirnya meninggalkan kami jauh di depan pada suatu titik.

Kami pun sampai di pos satu. Di area ini terdapat menara pandang yang terbuat dari bambu beserta kincir anginnya, dan di sini juga kami sudah bisa melihat pemandangan Jati Luhur di kejauhan beserta bukit-bukit di sekitarnya yang khas. Saya pikir di sinilah tempat orang-orang mengambil foto (yang akhirnya jadi telusuran hits di instagram) setelah turun dari atas, karena ada beberapa gerombolan anak muda yang sedang wefie-an juga di sini. Berarti kalau ke atas juga paling cuma gitu-gitu aja, seputar (maafkan kalo kesannya antipati sama situs arkeolog) batu-batu geologi, prasasti, ataupun petilasan raja-raja. Tapi tak ada salahnya mencoba dan melengkapi perjalanan karena sudah bayar 10000 per orang juga haha, jadilah kami lanjut ke atas.
Menara Pandang

Nyanyi-nyanyi bareng sepanjang perjalanan nyatanya cukup ampuh memompa semangat mendaki trek yang melelahkan dan bikin asam laktat meningkat pesat ini. Untung saja banyak tempat beristirahat berupa surau-surau di beberapa titik.

Setelah kurang lebih dua jam akhirnya kami pun sampai di Batu Lembu, spot terbaik sepanjang masa untuk melihat Jati Luhur di kejauhan! Kalau dilihat dari bawah mungkin kami seperti burung-burung kecil yang bertengger di atas sebuah batu besar yang nemplok di tebing jurang. Batu lembu ini permukaannya melengkung ke bawah dan di bagian paling bawahnya di pasangi pagar-pagar pembatas. Mungkin untuk meningkatkan rasa aman, padahal siapa juga yang mau lebih turun lagi mendekati pembatas-pembatas tersebut. Botol aqua milik Ega, sampai bergulir jatuh tak berhenti tak terselamatkan karena kelengkungan permukaan batu lembu. Sudah cukup menjadi pengingat untuk tidak mendekati titik-titik kelengkungan ekstrem dari Batu Lembu.
Kendati begitu, Cahya dan Fadil biasa aja tuh, malah mereka makin penasaran ke ujung-ujung sisi Batu Lembu, mau gamau saya sebagai sesama laki-laki juga turut serta turun ke bawah menyisir ke lengkungan terjauh dari batu besar ini dan akhirnya memperoleh beberapa foto yang dirasa cukup worth it!
Fadil In Frame
Me In Frame
Cahya In Frame

“Panel suryanya banyak juga ya.”
“Panel surya?? Itu kan tambak ikan.”

Obrolan selintas yang cukup absurd. Agaknya salah seorang dari kami terlalu  optimis terhadap perkembangan isu energi alternatif matahari di negeri ini. Hihi.


Tak diduga ketika hendak pulang, dua ekor kera muncul dari pepohonan, padahal saat itu sudah ramai dengan manusia. Ya sudahlah hewan pun ingin menikmati rasanya pemandangan sunset dari pojok bukit lembu yang indah dan meneduhkan hati.

Sekitar jam 3 sore kami turun, dan baru sampai sekitar jam 5 sore di pos inisiasi untuk mengejar shalat ashar.
Ala-ala Camen Rider di Dekat Petilasan Raden Surya Kencana

Perjalanan tadabbur atau tafakur alam yang tak biasa ini kami tutup dengan makan sate maranggi di bilangan kota Purwakarta, tepatnya di daerah pasar. Begah!

Hal-hal berkesan selama perjalanan beraneka rupa, seperti perjuangan mencari masjid dengan toilet yang layak pakai. Mulai dari nemu keranda mayat yang bikin Ajeng bergidik, jamban yang disemen, toilet tanpa air, sampai yang mampet! Bisa dibilang main-main kami kali ini juga jadi ajang latihan kami dalam bernyanyi bersama berbagai macam lagu, terutama lagu Indonesia yang jadul-jadul, berhubung agenda karaoke kemarin-kemarin selalu jadi wacana.

Perjalanan ini, foto-foto yang memukau ini, momen-momen yang sangat berkesan ini, ga akan terwujud kalo bukan karena peran orang-orang yang ga biasa ini. Trims buat Cahya, atas risetnya soal Bukit Lembu yang jitu, driver handal, dan juga bersama Ajeng, si penunjuk rute terbaik, yang bela-belain minjem mobil rental di deket telk*m, trims buat Ega yang ga nagih biaya operasional buat bikin Pecel ala Bumbu Padang, dan juga buat Fadil yang semangat banget nyari lagu-lagu buat dinyanyiin bareng sepanjang perjalanan. Can’t wait for another trip with u guys. Bye!

Apa kurangnya aku di dalam hidupmu, hingga kau curangi aku
Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia
Aku punya ragamu tapi tidak hatimu
Kau tak perlu berbohong kau masih menginginkannya
Kurela kau dengannya asalkan kau bahagia

Salah satu lagu yang jadi sering terngiang-ngiang terus setelah one day trip ke Bukit Lembu ini. Karena diputar.... pulang dan pergi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB