Mawas Tiga Ekskul
Semasa SMA, saya memiliki tiga ekskul : Rohis, KIR, dan Pasus. Ketiganya memiliki peran besar dalam mengubah kepribadian saya menjadi sedikit lebih berbeda (karena perubahan besar itu asalnya dari niat dalam diri, bukan?)
Di DKM, setidaknya saya jadi tahu bahwa menjadi ketua itu bukanlah perkara yang main - main. Amanah yang diemban bukan main beratnya, apalagi sebagai ketua DKM, bahkan menjadi Koor. Acara DKM saja amanah untuk menyukseskan acara atas nama Alloh itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan mengingat dampaknya terhadap aqidah di lingkungan Smansa.
Niat saya yang dulu ingin jadi pemimpin langsung lenyap tidak bersisa. Kacung Murid, itu yang mereka (XII IPA 8) plesetkan terhadap singkatan KM, (yang sebenarnya adalah Ketua Murid). Makna kacung yang dekat dengan seseorang yang mengemban tugas dan tanggung jawab melebihi orang-orang yang dipimpinnya. Mengapa demikian? Karena ketua lah yang menjadi contoh bagi anggota-anggotanya, perkataan ketualah yang menjadi penentu keputusan berjalannya suatu kegiatan, dan ketua turut berperan penting mengurus masalah yang terjadi dalam sistem. Apabila sebuah sistem hancur, ketualah yang disorot terlebih dahulu, sungguh mengerikan. Bukankah wajar niatku untuk menjadi pemimpin lenyap tanpa bekas? Ada yang kusesali di akhir masa jabatan, kenapa kultum di masjid sangat jarang dijalankan? Kenapa tidak berkontribusi cukup banyak dalam keluarga rohis Smansa ini? Kenapa banyak diam? Kenapa? Sesal.
Di KIR, menjadi seorang Ka. Koor Biologi adalah tugas yang sangat besar: mengusahakan berjalannya kegiatan karya ilmiah di bidang Biologi, apakah itu terdengar gampang? Mungkin, kecuali kalau anggotanya adalah orang-orang yang tidak kuasa menyempatkan diri untuk berkontribusi banyak dalam divisi Biologi ini, memangnya bisa sang ketua berjalan sendiri? Atau salahku juga yang terlalu malas untuk mengusahakan lebih, ah ingin rasanya memutar waktu dan memajukan KIR dengan usaha tanpa batas. Andai saja saat itu saya berjuang maksimal pasti KIR Hexagon sudah punya karya yang bisa dibanggakan, seperti produk makanan organik yang bisa dijual mungkin? Sesal.
Di Pandawa 16, masuk ekskul baris-berbaris hanya ingin menjadi tura upacara semata? Bodoh sekali! Mengapa tidak mencoba sekalipun menjadi pemimpin upacara misalnya, pembaca doa, atau bahkan pengibar bendera? Takut gagal, takut malu, ngga sabaran, malas dikoreksi ini itu, apa lagi? Sudah cukup untuk membuat diri nista ini terbelakang. Sekarang apa yang bisa dibanggakan? Bahkan menjadi tura pun tak cukup bagus untuk bergerak, masih lupa ini itu, kurang power, gada bentuknya, ah, nasi telah jadi bubur, dan kusadari baru saat ini bahwa dulu, di naungan sang jatayu ini, saya tidak pernah memakai hati, yang ada hanya perasaan terpaksa, ingin cepat selesai, ingin lepas tanggung jawab. Sekarang mau ngasih cerita apa pas udah jadi purna? Cuma bisa diam dan bilang : "Mereka lebih baik daripada saya, tidak ada yang perlu diceritakan." Sampah? Ya... Sejak kapan? Sejak baru masuk, ketika hati tidak pernah mau mengerti, dan sabar tak menjadi pijakan saat latihan rutin. Syukurlah orang seperti saya sudah jadi purna, awas saja kalau ada yang niru-niru. Saya ingin melihat angkatan bawah dan seterusnya tidak ada yang seperti saya, camkan.
Mungkin memang tak ada yang bisa dibanggakan, berakhir damai, atau melahirkan kepuasan, dari ketiganya. Namun, selama manusia ingin berubah haruskah ia memantaskan diri dahulu bahwa ia layak untuk berubah, bahwa ia tak punya waktu untuk berubah, atau ia sudah terlalu kotor untuk mandi dan bersih kembali? Sepertinya tidak.
Paling tidak masa lalu yang bodoh, pandir, dan yang sesegitunya itu bisa menjadi sebuah kisah yang memotivasi. Itu kalau saya berhasil untuk berubah. Masa lalu yang menyebabkan masa kini menjadi serba putus asa, tak percaya, ingin berhenti, minder, dan sebagainya, semoga bisa berakhir menjadi saat yang terduga : masa depan cerah. Mungkin sulit untuk membuat grafiknya jomplang, dari yin langsung jadi yang. dari hitam langsung jadi putih. dari marah langsung jadi ramah. Tapi peduli apa? Toh masa depan ga pernah bisa ditebak, jadi buat apa memvonis hal ini atau itu tak bisa diubah? buat apa mengeluh hal yang udah berlalu, bukankah lebih baik mengusahakan hal yang masih bisa dilakukan?
Jadi, akhirnya adalah bahwa saya bertekad untuk menjadi 'sedikit agak lebih' baik dalam wadah pengembangan diri yang mencantumkan nama saya di ITB sekarang ini. Semoga.
Di DKM, setidaknya saya jadi tahu bahwa menjadi ketua itu bukanlah perkara yang main - main. Amanah yang diemban bukan main beratnya, apalagi sebagai ketua DKM, bahkan menjadi Koor. Acara DKM saja amanah untuk menyukseskan acara atas nama Alloh itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan mengingat dampaknya terhadap aqidah di lingkungan Smansa.
Niat saya yang dulu ingin jadi pemimpin langsung lenyap tidak bersisa. Kacung Murid, itu yang mereka (XII IPA 8) plesetkan terhadap singkatan KM, (yang sebenarnya adalah Ketua Murid). Makna kacung yang dekat dengan seseorang yang mengemban tugas dan tanggung jawab melebihi orang-orang yang dipimpinnya. Mengapa demikian? Karena ketua lah yang menjadi contoh bagi anggota-anggotanya, perkataan ketualah yang menjadi penentu keputusan berjalannya suatu kegiatan, dan ketua turut berperan penting mengurus masalah yang terjadi dalam sistem. Apabila sebuah sistem hancur, ketualah yang disorot terlebih dahulu, sungguh mengerikan. Bukankah wajar niatku untuk menjadi pemimpin lenyap tanpa bekas? Ada yang kusesali di akhir masa jabatan, kenapa kultum di masjid sangat jarang dijalankan? Kenapa tidak berkontribusi cukup banyak dalam keluarga rohis Smansa ini? Kenapa banyak diam? Kenapa? Sesal.
Di KIR, menjadi seorang Ka. Koor Biologi adalah tugas yang sangat besar: mengusahakan berjalannya kegiatan karya ilmiah di bidang Biologi, apakah itu terdengar gampang? Mungkin, kecuali kalau anggotanya adalah orang-orang yang tidak kuasa menyempatkan diri untuk berkontribusi banyak dalam divisi Biologi ini, memangnya bisa sang ketua berjalan sendiri? Atau salahku juga yang terlalu malas untuk mengusahakan lebih, ah ingin rasanya memutar waktu dan memajukan KIR dengan usaha tanpa batas. Andai saja saat itu saya berjuang maksimal pasti KIR Hexagon sudah punya karya yang bisa dibanggakan, seperti produk makanan organik yang bisa dijual mungkin? Sesal.
Di Pandawa 16, masuk ekskul baris-berbaris hanya ingin menjadi tura upacara semata? Bodoh sekali! Mengapa tidak mencoba sekalipun menjadi pemimpin upacara misalnya, pembaca doa, atau bahkan pengibar bendera? Takut gagal, takut malu, ngga sabaran, malas dikoreksi ini itu, apa lagi? Sudah cukup untuk membuat diri nista ini terbelakang. Sekarang apa yang bisa dibanggakan? Bahkan menjadi tura pun tak cukup bagus untuk bergerak, masih lupa ini itu, kurang power, gada bentuknya, ah, nasi telah jadi bubur, dan kusadari baru saat ini bahwa dulu, di naungan sang jatayu ini, saya tidak pernah memakai hati, yang ada hanya perasaan terpaksa, ingin cepat selesai, ingin lepas tanggung jawab. Sekarang mau ngasih cerita apa pas udah jadi purna? Cuma bisa diam dan bilang : "Mereka lebih baik daripada saya, tidak ada yang perlu diceritakan." Sampah? Ya... Sejak kapan? Sejak baru masuk, ketika hati tidak pernah mau mengerti, dan sabar tak menjadi pijakan saat latihan rutin. Syukurlah orang seperti saya sudah jadi purna, awas saja kalau ada yang niru-niru. Saya ingin melihat angkatan bawah dan seterusnya tidak ada yang seperti saya, camkan.
Mungkin memang tak ada yang bisa dibanggakan, berakhir damai, atau melahirkan kepuasan, dari ketiganya. Namun, selama manusia ingin berubah haruskah ia memantaskan diri dahulu bahwa ia layak untuk berubah, bahwa ia tak punya waktu untuk berubah, atau ia sudah terlalu kotor untuk mandi dan bersih kembali? Sepertinya tidak.
Paling tidak masa lalu yang bodoh, pandir, dan yang sesegitunya itu bisa menjadi sebuah kisah yang memotivasi. Itu kalau saya berhasil untuk berubah. Masa lalu yang menyebabkan masa kini menjadi serba putus asa, tak percaya, ingin berhenti, minder, dan sebagainya, semoga bisa berakhir menjadi saat yang terduga : masa depan cerah. Mungkin sulit untuk membuat grafiknya jomplang, dari yin langsung jadi yang. dari hitam langsung jadi putih. dari marah langsung jadi ramah. Tapi peduli apa? Toh masa depan ga pernah bisa ditebak, jadi buat apa memvonis hal ini atau itu tak bisa diubah? buat apa mengeluh hal yang udah berlalu, bukankah lebih baik mengusahakan hal yang masih bisa dilakukan?
Jadi, akhirnya adalah bahwa saya bertekad untuk menjadi 'sedikit agak lebih' baik dalam wadah pengembangan diri yang mencantumkan nama saya di ITB sekarang ini. Semoga.
emang lu ikutan apaan di sono he?
BalasHapus