Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Diambil dari sini



Atas dasar empat alasan, saya dan teman saya sebut saja namanya Gunawan memutuskan untuk tidak ke Bogor dan menginap di rumah saya. Jumat, 30 Desember 2016, sehabis berjalan-jalan ria di ibukota, kami berkelana di kota tua sampai Magrib. Teman kami, sebut saja Budi, sudah kembali ke Bekasi selepas isya. Tinggal kami berdua di stasiun kota dan berencana untuk menikmati hiburan ditemani temaram lampu kota dan menjajal kuliner sepanjang jalan kota tua.

Menjelang malam tahun baru, keadaan di kota tua kian malam kian ramai. Banyak pedagang makanan dan minuman menggelar ponco ataupun tikar di pedestrian untuk menjajakan dagangannya. Sempat terbesit di pikiran Gunawan kalo mereka hanya ingin bisa menginap di ibukota dengan kedok berjualan di ibukota. Hmm, entahlah.  

Sampai jam 8 malam keadaan masih adem ayem saja,kami terpesona dengan hiruk pikuk malam yang disemarakan oleh lampu-lampu kendaraan yang berseliweran, dan juga cahaya kelap-kelip yang berasal dari mainan anak yang diperjualbelikan. Akan tetapi, semakin larut barulah kami sadar ada sesuatu yang penting yang harus segera ditentukan dan didefinisikan. Dan sejurus kemudian kami tersadarkan bahwa menginap di masjid ternyata bukanlah rencana yang bisa diterapkan di semua daerah.

Masjid
Kalau di samping ITB ada Salman, maka di Jakarta nyatanya hidup tak seindah kisah romansa anak kampus di ibukota. Gerbang masjid dekat stasiun sudah dikunci entah sejak kapan, dan di istiqlal ternyata hanya diperbolehkan berdiam diri sampai jam tertentu saja  atau menginap dengan alasan khusus atau momen tertentu untuk menghindari gelandangan yang numpang bermalam.

Menyadari masjid dekat stasiun tak bisa diharapkan dan sudah digembok, kami kemudian berjalan tanpa kepastian, mengikuti pedagang antah berantah yang berjalan mendorong gerobaknya. Ketidakjelasan membawa kami pada pertigaan suatu jalan. Kemudian lagi-lagi kami terpikirkan suatu tempat aman untuk bernaung dari buasnya malam.

Kantor Polisi

“Pak, bolehkah kami menumpang menginap di penjara?”

Terlalu fantastis dan bad ass untuk didengar. Kenyataannya memang kami  tak sepatah katapun mengutarakan keinginan untuk menginap di sana kepada petugas polisi dan tak seujung kukupun kami mendatangi kantor yang terkenal sebagai tempat yang dihindari dan didatangi oleh orang-orang bermasalah itu.  Itu hanya pikiran pasrah dua anak muda yang kalap karena tak menemukan tempat gratis untuk menginap.

Hotel Jalan Kopi

“Kalo mau menginap bisa ke jalan kopi, tapi setau saya tidak ada yang murah kalo di kota tua. Kalau yang murah lebih baik ke daerah Gunung Sahari.”
-Kasir sebuah toko kelontong modern

Yang murah pun palingan juga masih di atas 100 ribu. Kami merasa rugi menginap di hotel hanya semalam saja, kalau malam ini harus menginap di sana seharusnya kami sudah take in dari pagi dan menggunakan segala fasilitas hotel tersebut untuk menepiskan rasa bersalah merogoh kocek agak dalam.

Kos-kosan

Mencari kosan untuk berlibur selama sebulan rasanya normal-normal saja, tapi hanya untuk semalam? oh tidak bahkan, hanya untuk 8 jam? Rasanya sulit dan juga kami malas mengetok-ngetok pintu ibu atau bapak kos yang belum tentu mau mengambil tawaran 20 ribu permalam untuk 1 kamar dari kami.

Pos Ronda

Opsi yang ini sepertinya cukup feasible, dan  sepertinya cukup mengcover salah satu kebutuhan menginap yang paling kami harapkan : aspek keamanan. Setidaknya selama 8 jam kami bisa ronda keliling kampung. Tapi akhirnya ide itu terlalu gokil dan menguras harga diri untuk direalisasikan.

Rumah Salah Satu Penduduk

Entah dikira perampok lungsuran dari PuloMas atau renternir berkedok wajah anak muda kami tak bisa membayangkannya jika kami jadi mengetuk pintu ribuan rumah di daerah ini. Lagi pula siapa orang random di sana yang bisa kami percaya untuk mengantar kami ke rumah yang memang bisa disebut rumah, jangan-jangan kami diajak masuk ke sebuah gang sempit kemudian belok ke tempat gelap, dan akhirnya muncul keluar di surat kabar harian esok pagi.

Hostel

75 ribu permalam di kota Glodok, rasanya wajar. Tapi tunggu, rasanya ini sudah malam dan untuk menginap selama 6 jam dengan biaya 75 ribu? Lagi-lagi kepelitan kami membiaskan semua kekhawatiran menghadapi malam yang kian larut.


Emperan Stasiun

Gratis dan meyakinkan. Setelah pencarian dan pemikiran panjang tak berujung akhirnya kami melabuhkan diri di tempat yang kami rasa cukup aman untuk disinggahi: stasiun kota. Di luar sana mendekati tengah malam keramaian masih tampak di kejauhan, tapi kami tak mau tertipu. Daripada mengambil risiko berjalan-jalan tanpa juntrungan di tengah malam dalam gemerlap kota tua tempat berbagai macam rupa kepentingan saling bermobilisasi, yang bisa jadi banyak serigala malam seperti begal dan preman yang berpura-pura, akan lebih baik berlagak seperti turis yang menunggu dijemput. Caranya ya dengan berdiam diri di stasiun kota.

Kami begitu yakin emperan stasiun bagian dalam akan menjadi tempat yang nyaman untuk bermalam. Berbekal izin untuk menunggu kereta jawa yang datang pukul 4.45 kami berjudi dengan kemungkinan yang akan terjadi. Tepat pukul 10.30 malam, Gunawan dan saya mengambil posisi tidur dengan bersandarkan dinding stasiun ditemani nyamuk-nyamuk yang berkeliaran. Food court-food court sudah pada tutup kecuali salah satu toko kelontong. Perjudian kami  akan ditentukan pada pukul 11.45 malam, ketika kereta terakhir berangkat dari stasiun kota, kalau lewat tengah malam kami tidak diusir berarti menginap di sana memang diperbolehkan.Dan kami akan mendapatkan tempat menginap gratis yang cukup nyaman.

Namun, ibukota memang lebih kejam daripada ibu tiri. Angan-angan untuk mendapatkan tempat bernaung yang aman dan nyaman kandas saat petugas stasiun mulai mensterilkan stasiun dan mendesak kami ke pintu keluar stasiun. Alasan menunggu kereta jawa jam 5 pun urung kami sebutkan.  Lewat tengah malam, akhirnya nasib mengantarkan kami untuk tidur di emperan luar stasiun bersama beberapa rombongan yang sama-sama sial.

Beginilah kami, dengan beralaskan tangga kami mengabaikan papan larangan duduk di tangga stasiun. Terali besi pintu stasiun kota menjadi bantal yang harus disugestikan empuk. Dengan harap-harap cemas saya berharap turis-turis di sekitar kami juga akan menetap di sini bersama kami sampai shubuh karena kalau mereka pergi, kondisi saya dan Gunawan yang hanya berdua saja tentu akan menjadi mangsa empuk bagi orang-orang jahat yang ingin mencari kesempatan .

Malam semakin larut, orang-orang yang terlantar bersama kami di emperan stasiun mulai pergi satu per satu. Dimulai dari rombongan bapak-bapak dan keluarganya yang naik ke mobil yang datang menghampiri mereka, entah memang salah seorang sanak saudara atau layanan kendaraan online saya tak ambil peduli.

Rombongan pendaki yang duduk dekat kami juga akhirnya pergi menembus sisa-sisa keramaian malam, sempat menguping sepertinya mereka telah menemukan tempat menginap dadakan dan berencana memesan uber.

Jam menunjukkan pukul 00.30, menunggu 3 setengah jam di tempat yang mungkin kurang berperikemanusiaan dan sesekali bau pesing ini sepertinya merupakan hal wajar, itu tadinya yang saya pikir. Gunawan sudah terlelap dalam tidur dalam posisi tekuk menekuk yang anggun bersandarkan terali besi, sesekali terbangun untuk mengecek apakah saya mengambil foto gaya  tidurnya yang malang atau tidak dan kemudian tidur lagi.

Kondisi HP saya saat itu tinggal 30%. “Bagaimana ini?” batin saya memikirkan rencana untuk memesan kendaraan online yang dapat mengantarkan kami ke istiqlal shubuh nanti. Jika hape saya mati maka saya dan Gunawan akan lebih lama mendekam di tempat durjana ini. Walhasil hape langsung saya matikan karena di sana juga tidak ada colokan (lagian siapa juga yang berbaik hati memasang colokan di tembok luar stasiun)

HP yang mati dan ketidaktahuan terhadap waktu membuat saya bosan setengah mati. Saya hanya bisa menatap nanar pada temaram lampu kota yang ternyata cukup memusingkan kepala. Abu rokok beterbangan dari segala penjuru, sepertinya memang  tidak akan ada orang baik-baik yang bisa berpikir segila kami untuk bermalam di emperan luar stasiun kota. Mereka tentunya lebih memilih merelakan mengeluarkan uang untuk penginapan terdekat ketimbang menantang kehidupan malam di ibukota demi sekadar menginap gratis.

Perlahan tapi pasti, kami berdua sama-sama mulai mengerti bagaimana rasanya menjadi gelandangan ibukota yang tak memiliki tempat untuk pulang. Saya bersyukur memiliki tempat kembali di Bogor, dan Gunawan mensyukuri ia memiliki tempat berpulang di Bengkulu. Walau semalam saja, pengalaman ini akan terus diingat seumur hidup dan tak ada satupun dari kami yang berniat mengalami untuk kedua kalinya.

Jakarta telah menunjukkan sisi kelamnya yang membentuk karakter keras penduduknya. Sekitar pukul 02.30 dini hari rombongan anak-anak ABG yang semuanya laki-laki sekonyong-konyong mendatangi tangga tempat kami bersandar dan duduk-duduk di sebelah kami. Saya sontak merasa terganggu dan bergeser ke anak tangga sedikit naik ke atas. Keadaan masih normal walau agak mengganggu karena jumlah mereka cukup banyak. Tiba-tiba saja dari kejauhan datang pria berkupluk yang turun dari sebuah bemo biru. Ia mendatangi anak-anak itu dan berbicara tentang sesuatu yang tidak jelas.


“Eh, Ayo sini, ikut.”

Kurang lebih itulah sepatah kata yang saya dengar. Saya tidak mau terlalu memerhatikan dan pura-pura serius menatap lampu kota (yah itu saja yang bisa saya lihat soalnya, apalagi). Di luar sini dan sedini ini tidak aman bertindak sok pahlawan. Lebih baik acuh tak acuh daripada menjadi pahlawan kesiangan di kegelapan malam.

Mendadak saja, salah satu anak di sebelah saya bergeser  tempat dan mendekati saya seraya berseru dengan muka memelas,
“A, tolongin saya A, saya ditodong A”

“Apa sih.” Saya terkesiap dan langsung memasang muka garang. Adrenalin saya memuncak, saya memperbaiki posisi tas dan juga bergeser mendekati Gunawan yang lagi-lagi masih tidur dengan lelapnya bersandarkan terali besi.

Anak itu ikutan bergeser, saya semakin waswas jangan-jangan ini modus pencopetan berkedok korban penodongan, entahlah apa seharusnya. Cuma keamanan saya dan Gunawan yang saya pikirkan. Jangan sampai berbuat bodoh.

Pria berkupluk tak menghiraukan keengganan anak-anak itu. Ia terus saja merayu dan mengajak dengan nada memaksa agar anak-anak itu ikut dengannya. Saya dilema tapi saya tak mau kelihatan terlibat.

“A, nitip tas A.” Anak yang lainnya mejatuhkan tasnya di sisi saya, mungkin karena tak mau tasnya diambil.

“Ngga! Apaan.”  Cetus saya sedikit berteriak. Lagi-lagi saya terpaksa harus berlagak acuh tak acuh dengan nada kesal dan memperketat pegangan tas saya. Gunawan terbangun, hanya untuk memasang tampang heran dan bodo amat, kemudian tidur lagi, bisa-bisanya sleeping beauty tetep tidur di medan perang emang -_-“

Akhirnya setelah beberapa saat pria berkupluk pergi dengan membawa sebagian anak, sementara sebagian yang lainnya mendekati orang-orang lain yang duduk di dekat tiang. Sepertinya mereka memang sedang berada dalam kesulitan. Saya tak terlalu merasa bersalah karena kondisinya saat itu saya memang hanya berdua dengan Gunawan, daripada kami yang kena semprul, ya sudahlah.

Setelah peristiwa aneh dan agak-agak menegangkan itu, saya mulai lebih memerhatikan sekitar. Pria botak berkacamata yang sedang menonton bokep. Sepasang, hmm sepertinya pasutri, dengan tujuan kereta ke Banten, tidur bergantian dan saling pangku memangku begitu so sweet untuk dilihat. Dua orang anak laki-laki yang tidur di blok tanaman dan sedang merokok. Tiga orang yang sepertinya kakak beradik dengan muka yang sama kucelnya dengan anak-anak yang mengaku ditodong tadi. Beberapa bapak-bapak bercelana pendek. Hanya perlu tambahan banci taman lawang untuk memperburuk keadaan. Seketika saya merasa kasihan terhadap teman saya dari Bengkulu ini yang sekalinya ke Jakarta langsung melihat versi undercovernya.

Setelah melalui berbagai pemandangan lalu lalang kendaraan aneh yang menjengahkan mata mulai dari pengendara-pengendara tanpa helm yang saling berpegangan tangan padahal beda motor, koloni motor vespa yang berfoto dan yang memfotonya berdiri di tengah jalan seolah menunjukkan siapa penguasa jalan sesungguhnya dan  mengganggu pengemudi lainnya, sampai aksi ‘mengagumkan’ pengendara berjaket biru yang mengendarai motor hanya dengan satu roda karena roda depannya terangkat, saya yakin Jakarta lewat tengah malam memang gudangnya inspirasi bagi para penulis novel genre hitam. Rasanya seperti melihat realita sesungguhnya dari sinetron anak jalanan dan film The Purge, hanya saja tampang aktornya lebih realistis.

Tak mampu tidur sama sekali, kemudian saya melihat sudah pukul 03.33. Saya memutuskan untuk memesan Go-C*r dan harap-harap cemas agar tidak mendapat pengemudi yang urakan dan membawa pistol seperti yang diberitakan Line Today.  Sempat terpikir siapa pula orang baik-baik yang berkendara jam segini. Tidak adanya pilihan lain membuat saya menekan tombol order dengan tujuan masjid Istiqlal.

Alhamdulillah, dapat satu pengemudi yang akan datang 3 menit lagi. Saya membangunkan Gunawan dari tidurnya yang entah sudah ronde keberapa kali. Ketika mobil pun tiba, saya dan Gunawan kemudian masuk dan diantar seraya melihat wajah jalanan ibu kota yang ternyata masih menyisakan manusia di pinggir jalan. Sekilas saya melihat wanita dengan postur SPG terlihat di kiri jalan, mematung, seperti menunggu sesuatu, terlihat aneh karena posisinya tidak seperti orang yang menanti jemputan dan di sebelahnya ada motor.

Selang beberapa waktu kemudian kami tiba di masjid istiqlal melalui gerbang seberang katedral. Rasanya nikmat bukan main menemukan banyak orang-orang berkopiah dan berkerudung. Sangat jauh berbeda dibanding emperan durjana tempat kami bernaung dan curiga pada setiap orang yang bermalam di sana.

Setelah itu Gunawan mandi menjelang shubuh, saya tidak mandi karena  ternyata banyak pula orang yang ingin memakai kamar mandi. Usai shalat Shubuh kami tidur dengan lega beralaskan permadani masjid yang empuk, bukan lagi terali besi ataupun emperan tangga stasiun yang kotor. Sekian.



Komentar

  1. Kalo aku seminggu jadi gelandangan,trus udh kerja 3 tahun dan sekarang jadi gelandangan lagi alias nganggur, tidak punya saudara di ibukota, kampung halaman juah di tanah Batak

    BalasHapus
  2. Penuturan pengalamannya enak dibaca

    BalasHapus
  3. Aku pernah menggelandang di Jakarta, 4 tahun tidur di serambi masjid terminal Lebak bulus ... Sekarang masjidnya sudah rata tanah di bawah terminal MRT

    BalasHapus
  4. Hidup yg paling menakutkan itu ya di jalanan,bisa bunuh diri klau gak kuat,indo dengan ledakan penduduknya udah pasti banyak yg terlempar ke jalanan jadi tunawisma alias gembel

    BalasHapus
  5. Keren bang cerita nya , tapi saya juga lagi kejebak di Jakarta ini 😭 kayaknya bakal lakuin hal yg sama deh

    BalasHapus
  6. Seru bgt ceritanya bang. Penyampaian alurnya pas.

    BalasHapus
  7. Bang, jadi hari biasa kita gak bisa/gak boleh nginap di masjid istiqlal ya? Harus nunggu masjid buka dulu baru bisa numpang tidur di masjid?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB

Pantun Memantun Bersama Nabila