68 KM Menuju Hulu Citarum (part 2)
Setelah mencari rute terbaik di google, kami akhirnya
memutuskan untuk melalui Jalur Nenggeng – Pacet – Cibeureum. Dengan menentukan
beberapa check point untuk memastikan kami tidak melenceng dari jalur yang
telah ditetapkan. Antara lain SMAN 1 Kertasari – SMPN 2 Kertasari – Warung Kopi
Ibu Eti – Pasar Cibeureum, dan terakhir adalah Kantor Kepala Desa Tarumajaya.
Perjalanan di sepanjang jalur Ciparay Lembur Awi berakhir ketika kami berbelok
ke arah nenggeng. Sepintas jalannya terlihat sangat baru, aspalnya berwarna putih
semen dan lebarnya tidak selebar jalan raya Ciparay Lembur Awi. Kami seperti
hendak dibawa ke pelosok desa atau pedalaman. Dengan kondisi jalan raya Pacet yang cukup mulus kami yakin
dengan mengikuti jalan utamanya yang mulus, jomplang dengan jalan-jalan kecil
peranakannya, maka hampir pasti kami tidak akan tersesat ke belokan yang salah
sekelak-kelok bagaimanapun alur perjalanannya.
Selama di jalur Nenggeng-Pacet-Cibeureum ini kami disuguhi
pemandangan pedesaan yang cukup eksotis. Permadani sawah berikut rumah
singgahnya dengan variasi sengkedan dipadu pemandangan gunung-gunung di
kejauhan serta kelokan tebing-tebing membuat kami berdecak kagum akan keindahan
alam semesta, rasanya tak rela apabila suatu saat daerah perdesaan ini akan
tergerus arus modernisasi zaman seperti yang tengah terjadi di desa-desa
sekitaran urban, kota kami berasal.
Godaan untuk berhenti dan berfoto-foto terhadap relief alam
yang maha indah ini berkali-kali kami coba tahan mengingat ada target yang
harus dikejar: Shalat Jum’at. Sekitar
pukul 11 kami pun sampai di sebuah hutan, daerah tempat pintu masuk situ
cisanti.
Dari penjaga pintu
masuk kami mengetahui bahwa tidak ada masjid di dalam situ sehingga kami harus
mencari masjid terdekat di bawah.
Akhirnya kami memilih sholat di masjid besar dekat pasar
cibeureum. Kondisinya masih dalam pembangunan walhasil area wudhu serta
toiletnya penuh dengan bercak tanah,
toiletnya gelap, kotor tak karuan, gayung untuk menyiram dalam bak kamar mandi
pun raib entah kemana, tak kuasa untuk memenuhi panggilan alam dalam kondisi
tak manusiawi seperti itu kami akhirnya memutuskan untuk meminjam toilet pada
Yomart terdekat sekalian membeli gorengan untuk mengganjal makan siang.
Sementara karena tak adanya parkiran yang memadai, kami memarkir motor di
sebuah SD, dengan menepiskan malu asalkan kami yakin motor kami akan terjaga.
Kutbah sholat jum’at pun dimulai, bisa dikatakan shalat
jumat di sini tidak mengakomodasi
kebutuhan rohani pendatang, karena bahasanya murni Sunda asli! Akhirnya hanya
kantuklah yang didapat sembari menunggu iqamat.
Setelah shalat Jum’at kami pun memulai
eksplorasi kami terhadap sudut-sudut situ Cisanti. Sekilas daerah ini hanya
seperti sebuah kolam besar yang dikelilingi oleh hutan dan ilalang, mirip-mirip
daerah bulldozer samping rumah saya di Bogor.
Penampakan Sebelah Selatan Situ Cisanti |
Giant Letter Sign Kilometer 0 Citarum |
Bergaya di jembatan iconic |
Zulfikar mencoba terjun bebas ke danau |
Postingan sebelumnya adalah 68 KM Menuju Hulu Citarum (part 1)
Komentar
Posting Komentar