Melapang: Tak Semudah dan Seindah Membaca dalam Cerita
Alasan ingin ikut Eka melapang
Dan berbagai obrolan absurd lainnya yang akan menjadi tulisan tersendiri kalo dibeberkan semua di sini.
“Sungainya sudah dibeton.” Komen Eka, yang saya rasa lebih pantas disebut selokan besar.
“Wah ada ular,” tukas Eka sambil melihat reptil dengan lingkar tubuh agak kecil serupa belut di sela-sela sawah.
“Di karsam kaya akan mineral atau singkapan, jalan kakinya enak, ga kayak gini.”
“Bade kamana.” Seorang ibu dengan anaknya yang tengah bersawah.
“Ka walungan Bu, panalungtikan.”
Hari itu ditutup dengan sejumlah kesan. Adalah perjalanan yang mengesankan menemani seseorang melapang dengan perbedaan massa tubuh 20 kg. Bukan apa-apa, karena kenyataannya saya banyak terengah-engah di penghujung hari akibat medan yang belum cukup bersahabat bagi orang dengan berat tertentu, butuh pembiasaan dengan berolahraga dan juga banyak berdoa.
Melapang anak Geologi ternyata bukan sekadar wisata ala-ala dengan petunjuk jalan dan kemungkinan yang selalu pasti, tetapi melapang adalah perihal penelusuran menerjang hambatan untuk meraih data penelitian atas misi mulia mengembangkan ilmu pengetahuan, yang harus dilalui prosesnya sepenuh hati dengan kesiapan fisik dan mental.
Hari
Sabtu, tanggal 20 Mei 2017, seharusnya saya mengikuti ujian FE, yang mirip-mirip
dengan tes kompre sebagai salah satu syarat untuk sidang. Berhubung saya tak
bisa mengambil TA 2 di semester pendek dan juga kesiapan yang dirasa masih
kurang, agenda itu pun urung saya
lakukan.
Weekend yang kosong, sepertinya
merupakan kesia-siaan jika tidak melakukan suatu hal. Sekitaran jam 8, saya
membuka chat di salah satu grup line. Teman saya, Eka, seorang mahasiswa
geologi mengajak saya untuk ikut melapang di Lembang, katanya sih cimpi-cimpi
di sekitaran daerah The Lodg* Maribaya. Wah, kesempatan yang baik untuk
mengetahui dan mendapatkan pembelajaran seperti apa medan yang dilalui seorang anak gea untuk mengambil data sebagai bahan TA-nya, meski tak ada kaitannya sama sekali dengan jurusan saya.
Hambatan perjalanan pulang pergi
Kami berpergian
ke daerah sekitaran Maribaya-Cibodas, yang katanya terdapat singkapan-singkapan
bagus untuk bahan mapping geologinya Eka. Relief jalan Lembang yang menanjak
nyatanya tak cukup mudah untuk dilalui menggunakan motor trail. Tak cuma sekali, saya sebagai yang dibonceng harus turun karena motor yang tidak kuat ketika
melintasi bolongan berkerikil di jalan. Apalagi kalau di depannya ada
mobil yang menanjak dengan sangat lambat atau bahkan berhenti tiba-tiba. Waswas
dan takut silih berganti, daripada mengambil risiko tergelincir saya memilih
turun dan menyusul dengan setengah berlari ke motor Eka yang sudah menunggu di
atas.
Jalur ke daerah observasi pada
saat berangkat harus melalui beberapa tanjakan yang curam berkali-kali, pada
saat pulang pun motor juga harus menanjak karena memang rutenya yang naik curam
dan turun curam di beberapa titik. Mungkin jika menggunakan metic, intensitas
saya turun dan berlari sepanjang tanjakan akan lebih banyak lagi.
Hal-hal mengesankan dari sang geologis
“Ka kenapa alat ini lu bawa juga, kan ga dipake, cuma bikin berat?” Tanya saya ketika melihat isi tasnya dengan dua perangkat geologi di dalamnya.
“Biar gua ga kelupaan, itu alat-alat harus selalu dalam tas itu.”
“Ka kenapa alat ini lu bawa juga, kan ga dipake, cuma bikin berat?” Tanya saya ketika melihat isi tasnya dengan dua perangkat geologi di dalamnya.
“Biar gua ga kelupaan, itu alat-alat harus selalu dalam tas itu.”
“Pernah gak sih anak geologi ketinggalan barang?”
“Gua sering, tapi untungnya pas balik buat ngambil masih bisa diselamatkan.”
“Masih mending kalo buku tulis yah yang ketinggalan.”
“Gua daripada catatan buku tulis kuning berharga ini, mending palu seharga 1 juta deh yang ilang Kan ga lucu ngulang dari awal.”
"Bagaimana cara kalian tahu kalau ini tuh singkapannya memang bagus, ini batunya pasti jenisnya ini, kan umumnya di alam heterogen."
"Kita dipaksa tau untuk itu."
“Gua sering, tapi untungnya pas balik buat ngambil masih bisa diselamatkan.”
“Masih mending kalo buku tulis yah yang ketinggalan.”
“Gua daripada catatan buku tulis kuning berharga ini, mending palu seharga 1 juta deh yang ilang Kan ga lucu ngulang dari awal.”
"Bagaimana cara kalian tahu kalau ini tuh singkapannya memang bagus, ini batunya pasti jenisnya ini, kan umumnya di alam heterogen."
"Kita dipaksa tau untuk itu."
Dan berbagai obrolan absurd lainnya yang akan menjadi tulisan tersendiri kalo dibeberkan semua di sini.
Medan daerah
observasi Eka memang tidak bisa langsung dimasuki motor. Perjalanan ke daerah
singkapannya harus diperpanjang dengan berjalan kaki menyusuri ladang dan
sawah. Area penelusuran terbagi menjadi empat distrik dengan berbagai mode pemarkiran motor. Daerah I motornya ditinggal begitu saja di bawah pohon, daerah II
motornya dititipin abang bakso (dan pas kami kembali, abang baksonya hilang), daerah III diparkir di samping masjid, dan daerah IV dititipin di
pekarangan rumah ibu-ibu yang sedang berada di dapur. Perlu rasa percaya yang
tinggi terhadap orang-orang sekitar dan juga tawakal yang luar biasa untuk
meninggalkan motor begitu saja. Hal yang belum bisa saya terapkan sekarang ini.
Tempat-tempat dan
cara masuk tak terduga
Daerah I
Daerah I ini merupakan daerah observasi tebing atau
cadas yang paling modern karena ada di lingkungan perumahan.
“Sungainya sudah dibeton.” Komen Eka, yang saya rasa lebih pantas disebut selokan besar.
Di tempat ini terdapat tebing. Eka mengeluarkan palu dan
menetak tebingnya untuk mengambil sampel batu dan diidentifikasi jenisnya. Satu sampel berarti untuk merepresentasikan
pola pada singkapan di daerah ini.
“Jadi kalo setiap hari dilakuin penelitian di daerah ini, tebingnya amblas dong dikeruk mulu, diambilin cuplikannya?” Pertanyaan ‘bodoh’ yang dijawab Eka dengan tawa renyah.
“Jadi kalo setiap hari dilakuin penelitian di daerah ini, tebingnya amblas dong dikeruk mulu, diambilin cuplikannya?” Pertanyaan ‘bodoh’ yang dijawab Eka dengan tawa renyah.
Daerah II
Di sekitaran daerah Cikawari, motor trail sempat salah
jalan dan terjebak di antara ladang kol. Terpaksa harus memutar dengan cara
menarik-narik dan mengangkat-angkat. Kerap kali motor tak sengaja merusak
beberapa bunga kol dan plastik penutup tanahnya. Daerah Cikawari
ini cukup indah, ada ladang yang dipenuhi dengan deretan bunga merah yang
cantik, sayangnya saya tidak sempat mengabadikannya dengan video karena repot
memegang palu.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke bawah
menyusuri sawah-sawah yang mengacu pada suara retasan air sungai di kejauhan sebagai
penanda titik yang dituju.
“Wah ada ular,” tukas Eka sambil melihat reptil dengan lingkar tubuh agak kecil serupa belut di sela-sela sawah.
Setelah menemukan titik observasi yang benar yang
dideteksi oleh google map sebagai suatu daerah di dekat kampung Cikalung Pencelut, Eka
melakukan pengukuran dan pengidentifikasian pada sebuah cadas.
Daerah III
Hal yang paling mengesankan dari tempat di daerah
sekitaran Cibodas ini adalah… err bau kotoran sapi, dan minuman random yang
terbesit adalah susu lembang.
“Di karsam kaya akan mineral atau singkapan, jalan kakinya enak, ga kayak gini.”
Kali ini memang tak banyak jalan kaki setapak yang
terlihat, tujuan kami sungai, selalu sungai. Akses dibuat sendiri dengan
melalui ladang-ladang yang seperti tak terawat (hampir beberapa daerah terdapat
ladang-ladang yang terabaikan).
Di sini juga ada jembatan bambu tanpa pegangan dengan suara
aliran kali yang agak keras di bawahnya.
Saya tak kuasa menahan rasa cemas berlebihan ketika melintasinya entah kenapa. Mungkin karena sering nonton
film horor tentang penjelajahan di alam.
“Gua tadinya mau menyusuri sepanjang sungai ini, tapi kan motor yang ada di masjid ga bisa ditinggal. Jadi harus naik ke atas lagi.”
“Kalo pas melapang bareng LIPI enak, drivernya bisa diajak kerja sama, kita turun menyusuri daerah singkapan, drivernya tinggal diminta jemput di titik-titik akhir.”
“Gua tadinya mau menyusuri sepanjang sungai ini, tapi kan motor yang ada di masjid ga bisa ditinggal. Jadi harus naik ke atas lagi.”
“Kalo pas melapang bareng LIPI enak, drivernya bisa diajak kerja sama, kita turun menyusuri daerah singkapan, drivernya tinggal diminta jemput di titik-titik akhir.”
Yah begitulah, nyatanya penelitian
seorang geologi di lapangan akan sangat apresiatif dan penuh rasa syukur terhadap
pendamping perjalanan mereka yang juga bisa menyetir kendaraan yang sama untuk
meningkatkan efektivitas dan mobilitas.
Titik observasi ada di daerah
aliran sungai yang membentuk sebuah curug mini. Sepertinya Eka tidak mengambil sampel batu
apapun di sini. Setelah jepret-jepret sedikit, kami ke atas untuk mengambil motor.
Daerah IV
Sudah masuk kawasan The Lodg*
Maribaya dengan pohon-pohon pinus yang aduhai indahnya. Niat main di wahana The
Lodg* urung dilakukan karena dirasa tujuan ke sini bukan untuk wisata sehingga
persiapan ala-ala secara moril, finansial, dan materil dirasa sangat tidak maksimal.
Melihat warung dengan dasar
arsitektur bambu sederhana dan batok-batok kelapanya, tetiba saja saya jadi
ingin minum degan (nama lain dari kelapa) langsung dari batoknya. Walhasil saya meminta Eka untuk melipir
dengan kompensasi total seharga Rp. 15.000,00 rupiah saja.
Tujuan kami lagi-lagi adalah sungai
yang ada di dekat rimbunan hutan pinus di kejauhan. Kami tidak
masuk lewat kawasan wisata The Lodg*, melainkan melalui ladang-ladang warga.
Suasana menuju titik observasinya semakin mencekam karena beberapa alasan. Pertama, hari sudah
menjelang maghrib, kedua gonggongan anjing di kejauhan, ketiga jalan setapaknya
tidak terawat dan ada beberapa yang terputus (Eka hanya menggunakan instingnya untuk menemukan tapak demi tapak), keempat, penelusuran harus melalui medan berupa relief yang lebih mirip papan luncur di tanah-tanah miring dan lagi-lagi menginjak gundukan
petak tanaman.
“Bade kamana.” Seorang ibu dengan anaknya yang tengah bersawah.
“Ka walungan Bu, panalungtikan.”
Seperti terdengar aneh bagi
warga sekitar situ, apalagi mengingat hari sudah sangat sore. Bisa-bisa kami dikira hendak bertapa pada
lelembut penguasa sungai dan hutan. Kendati begitu, akan sangat tanggung kalau
data terakhir tidak diambil karena sudah jauh berjalan kaki juga.
Akhirnya titik observasi terakhir
pun dicapai, sebuah sungai yang merupakan sambungan sungai di daerah III,
dengan batu-batu cantiknya di hadapan hutan pinus yang gagah perkasa sudah
cukup memuaskan kami. Janji Eka bahwa ini adalah daerah eksplorasi terakhir pun
terpenuhi.
Hal yang paling saya ingat adalah
ketika kembali menuju jalan mobil. Panjat dan memanjat tak peduli baju dan
celana akan kotor adalah satu-satunya cara mengejar waktu maghrib yang menjelang.
Entah karena terlalu terburu-buru atau rasa cemas terhadap kemungkinan
munculnya anjing yang menghadang tiba-tiba, atau juga karena jalannya yang
terus menanjak, otot kaki dan perut rasanya lelah luar biasa, nafas
tersengal-tersengal dan keringat bercucuran. Tak disangka kami pun digonggong
oleh anjing yang untung saja tidak berani mendekat hanya menggertak. Begitu kami sampai pada rumah tempat kami menitip motor, prosesi melapang usai.
Hari itu ditutup dengan sejumlah kesan. Adalah perjalanan yang mengesankan menemani seseorang melapang dengan perbedaan massa tubuh 20 kg. Bukan apa-apa, karena kenyataannya saya banyak terengah-engah di penghujung hari akibat medan yang belum cukup bersahabat bagi orang dengan berat tertentu, butuh pembiasaan dengan berolahraga dan juga banyak berdoa.
Melapang anak Geologi ternyata bukan sekadar wisata ala-ala dengan petunjuk jalan dan kemungkinan yang selalu pasti, tetapi melapang adalah perihal penelusuran menerjang hambatan untuk meraih data penelitian atas misi mulia mengembangkan ilmu pengetahuan, yang harus dilalui prosesnya sepenuh hati dengan kesiapan fisik dan mental.
Komentar
Posting Komentar