Dua Catatan dari Khutbah Jum'at di Salman

Jum’atan di Masjid Salman selalu menawarkan substansi da’wah yang menarik untuk diikuti. Sudah dua kali saya mencoba mencatat isi khutbah dari masing-masing khatib karena dirasa gaya penjelasannya yang begitu bernuansa akademis dan juga banyak menggunakan penjabaran terminologis.

Pada hari Jum’at, 27 Oktober 2017, kutbah diisi oleh Bapak Dr. KH. Agus Syihabuddin, MA, dosen agama ITB. Adapun konten ceramah beliau adalah sebagai berikut.

Dalam surat An-Nahl : 120 terdapat empat penggambaran eksplisit mengenai sifat Nabi Ibrahim as, yang dijuluki sebagai Bapaknya Para Nabi.

Yang pertama, Nabi Ibrahim as bersifat ummat. Ummat secara lughowi merujuk pada masyarakat. Menurut Al- Imam Ibnu Mansyur, ahli leksikal, secara makna, kata ummat menuju pada makna pemimpin yang dijadikan sebagai tumpuan, tujuan, maupun teladan. Begitu pula kedekatannya pada kata ummi yang berarti ibu, yang dijadikan sebagai tumpuan dan teladan bagi anak-anaknya. Kita sebagai umat Islam harus menerapkan sifat ummat ini agar ke depannya kita mampu membentuk pribadi generasi yang kuat dalam diri anak dan cucu kita nanti.

Yang kedua, Nabi Ibrahim as bersifat dzakira, dari kata qoonita dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Imam Ibnu Mansyur, Nabi Ibrahim as selalu resah dan gelisah untuk mencari cara agar senantiasa mengingat Alloh. Dalam surat Al-An’am sendiri diceritakan pencarian Nabi Ibrahim as terhadap Tuhannya.

Sifat dzakira ini jika diterapkan ketika kita tertimpa kesulitan maupun mendapat nikmat akan memunculkan sifat syukur yang membuat dua keadaan berbeda satu sama lain itu menjadi berkah untuk kita.

Yang ketiga, Nabi Ibrahim as bersifat tunduk, yang juga berasal dari kata qoonita. Dalam surat Ash-Shaffat:100, diceritakan bahwa Nabi Ibrahim as wirid kepada Alloh, memohon agar bisa memiliki keturunan. Keinginan Nabi Ibrahim as pun dikabulkan. Setelah itu, Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Alloh untuk membawa Siti Hajar dan anaknya, Ismail, ke daerah yang tandus dan jauh dari mana-mana, Nabi Ibrahim as juga tunduk kepada Alloh. Tidak sampai di situ, Nabi Ibrahim as konsisten tunduk kepada Rabb-nya, ketika Alloh memerintahkan menyembelih anaknya pada saat usia remaja.

Yang keempat, Nabi Ibrahim as bersifat hanif, atau dalam Al-Qur’an disebut sebagai haniifaa. Secara bahasa, kata hanif maknanya ialah orang yang memiliki keteguhan dan keistiqomahan.

Sifat hanif sendiri melahirkan tiga karakter dasar, yaitu kritis, berani, dan cerdas. Tiga karakter dasar ini terintegralisasi dalam diri Nabi Ibrahim as. Pada zamannya, Nabi Ibrahim as di tengah-tengah kejahiliyahan masyarakat sekitarnya, secara berani mengkritisi aktor intelektual dari budaya penyembahan patung yang merupakan ayahnya sendiri. Tak hanya itu, Nabi Ibrahim as mengkritisi masyarakat dengan cara cerdas yang cukup mind blowing. Caranya adalah dengan menghancurkan seluruh patung sesembahan, menyisakan patung yang terbesar, dan menaruh kapak di leher patung tersebut. Saat masyarakat bertanya perihal siapa yang berani menghancurkan patung-patung mereka, Nabi Ibrahim as berkata bahwa patung besar itulah yang menghancurkannya. “Bagaimana bisa sebuah patung bergerak dan menghancurkan patung-patung lainnya, patung itu hanyalah benda mati?” ujar mereka. Seketika itulah akal mereka membenarkan sendiri bahwa patung-patung itu memang hanyalah benda mati yang tidak berdaya ketika mereka dihancurkan, tak layak untuk disembah.


Berdasarkan empat sifat yang terimplementasi pada diri Nabi Ibrahim, Bapak Dr. KH. Agus Syihabuddin, MA memberikan wejangan akhir bahwa sudah selayaknya kita umat Islam mengaktualisasikan karakter-karakter tersebut di kehidupan sehari-hari. Karena Islam bukanlah sekadar tatanan akhlak atau teologi, melainkan Islam adalah sistem peradaban kehidupan yang nilai-nilainya yang sudah sepatutnya diikuti dan harus diaktualisasikan di seluruh aspek kehidupan.

Hal yang saya sukai dari gaya khutbah beliau adalah penuturan beliau yang begitu sistematis, seperti penyebutan jumlah sifat Nabi Ibrahim yang hendak beliau jelaskan, pada awal khutbah, dan juga adanya penggunaan kata-kata yang menurut saya cukup akademis, seperti terintegralisasi, eksplisit, aktor intelektual, dan sebagainya. 

Seakan penasaran dengan isi khotbah Jum'at minggu berikutnya, 3 November 2017, saya kembali mencatat khutbah yang kali ini diisi oleh Bapak Dr.Eng.Ir. T.A. Sanny M.Sc, dosen geofisika ITB. Secara garis besar topiknya adalah mengenai sikap umat Islam Indonesia terhadap tantangan perubahan zaman.

Menurut Pew Research Center, diprediksi Agama Islam pada tahun 2035  akan menjadi agama mayoritas berdasarkan persentase kelahiran bayi orang tua muslim sebesar 36% (riset ini tidak memperhitungkan bagaimana keberlanjutan agama bayi dari wanita muslim menjelang ia dewasa). Hal ini didukung oleh faktor kelahiran dan juga  perpindahan agama. Menyikapi prediksi itu, bagaimanakah sikap umat Islam, khususnya di Indonesia dalam mengoptimalkan peranannya  menghadapi tantangan seiring perkembangan zaman?

Tantangan yang pertama adalah kompleksitas muamalah. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa umat Islam harus mampu berbaur dengan non-Islam karena pada dasarnya manusia itu homo socialis, tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Siapkah kita untuk membaur, tetapi tetap tidak melebur?

Tantangan yang kedua adalah antisipasi terhadap perkembangan teknologi, khususnya media sosial. Perkembangan teknologi seharusnya bisa dioptimalkan untuk menyebarkan syiar dan dakwah. Tak lagi sekadar di dunia nyata, tetapi juga kini diperlukan penyebaran syiar dan dakwah di dunia maya mengingat  semakin berkembangnya teknologi informasi tidak hanya memudahkan penyebaran konten positif, tetapi juga memudahkan penyebaran konten negatif, yang salah satunya dapat saja berisi berita fitnah tentang umat Islam. Semua keburukan dan kebatilan yang melemahkan umat Islam sudah dimulai skenarionya sejak zaman dahulu kala.

Dalam Al-Qur’an, diceritakan ketika Iblis diperintahkan sujud kepada Nabi Adam as oleh Alloh, Iblis menolak dan mengatakan bahwa dirinya lebih mulia dari manusia, karena terbuat dari api. Perkataan ini merupakan bukti kesombongan pertama Iblis. Iblis kemudian dilaknat oleh Alloh. Iblis kemudian membuat semacam MoU bahwa ia meminta tangguh dan berjanji akan menyesatkan seluruh manusia. Inilah cikal bakal pertandingan manusia dan Iblis. Dewasa ini, pertandingannya juga terjadi di ranah dunia maya, antara fitnah Islam dan syiar Islam, antara penyebaran budaya kebatilan dan dakwah Islam. Oleh karena itu sudah seharusnya kaum muslimin, terutama para kawula muda Islam untuk lihai memanfaatkan peluang, menguatkan potensi mereka untuk menguasai teknologi digital.

Untuk bertanding dengan Iblis, Alloh mengilhamkan kepada jiwa manusia dua sifat: kefasikan dan ketaatan. Tinggal bagaimana kita memilihnya. Alloh juga memberi petunjuk dalam surat Al-A’raaf : 17 bahwa Iblis berjanji mendatangi manusia dari berbagai arah dan membuat manusia untuk tidak bersyukur. Berdasarkan hal itu, kita perlu waspada bahwa sifat kufur nikmat yang kerap muncul boleh jadi merupakan tanda kemenangan yang dikehendaki oleh Iblis.

Riset Pew Research Center boleh jadi sedikit memantik semangat. Kendati demikian, fakta yang ada sekarang ini justru merepresentasikan negara-negara dengan mayoritas penduduknya Islam seperti Arab, Kuwait, Katar, dan juga Indonesia, peringkatnya berada jauh di bawah negara-negara non-Islam pada peringkat Economic Islamic Index berdasarkan kebersesuaian penerapan prinsip ekonomi Islam di negara tersebut. 






(Sumber: Global Economy Journal diambil dari sumber internet http://hosseinaskari.com/wordpress/wp-content/uploads/islamicity-index.pdf)

Dari tabel terlihat bahwa hanya negara Malaysia yang masuk dalam 35 besar peringkat negara-negara yang dianggap sukses menerapkan 12 prinsip ekonomi Islam. Di sisi lain Arab Saudi berada di peringkat 91, dan Indonesia berada di peringkat 104. Cukup ironis untuk menyadari bahwa mayoritas negara-negara yang agama-agama penduduknya bukan Islam, justru paling getol menerapkan etika-etika Islam dalam pergerakan ekonomi mereka. Faktor yang menyebabkannya bermacam-macam, dapat bersumber dari beberapa atau gabungan aspek seperti ketidakadilan yang menyebabkan kesenjangan ekonomi di beberapa daerah, opresif, korupsi, tak adanya dialog dalam pemecahan masalah perekonomian negara, dan yang paling mendasar di negara kita adalah keterbelakangan IPTEK. Seharusnya jika Islam benar-benar diterapkan di setiap aspek kehidupan, IPTEK  kita pun akan turut maju. Berdasarkan kenyataan tersebut kita sebagai umat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia harus tetap bersatu padu, harus semakin intens berinstropeksi ke arah kualitas kehidupan Islam yang jauh lebih baik dari sekarang ini. 

Hal menarik yang saya sukai dari khutbah beliau adalah penjelasan beliau yang diiringi dengan data berupa angka-angka yang dikutip dari berbagai sumber referensi sehingga mempertegas bahasan yang tengah beliau bawakan.

Berdasarkan catatan yang saya buat dari dua khutbah di Salman, terlihat bahwa materi dan gaya khutbah di Salman cukup unik, terdapat harmonisasi yang indah antara data dari jurnal atau artikel ilmiah dengan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an. Khutbah di Masjid Salman agaknya memang menyesuaikan dengan segmenting para jamaahnya yang kebanyakan merupakan mahasiswa dan civita academica ITB. Semoga dengan begini semakin banyak masjid-masjid di Indonesia yang khutbahnya sangat menarik perhatian para jama'ahnya dan meningkatkan fokus dan antusiasme mereka untuk mendengarkan materi khutbah dengan seksama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB

Pantun Memantun Bersama Nabila