Ekspektasi Sebelum Resmi Menjadi Mahasiswa
Yah berhubung sampe detik ini saya
masih menjadi camaba ITB yang digantungin (daftar ulangnya masih dua minggu
lagi dari saat ini diposting). Alangkah
baiknya saya menumpahkan ekspektasi mengenai dunia perkuliahan. Perlu diketahui, saya harus merantau ke
Bandung untuk kuliah karena tempat tinggal saya terletak di kota Bogor (hal itu
menginspirasi saya untuk membangun Institut Teknologi Bogor). Jauh dari orang
tua, keluarga, jauh dari almamater-almamater saya sebelumnya, dan jauh dari
tempat-tempat historis di Bogor yang bakal saya kenang kemanapun saya pergi. Mulanya berat hati, pasti, sempat menyesal
juga kenapa ga milih Bioproses UI saja, biar bisa pulang pergi ngecek keadaan
rumah dan ortu di rumah kapanpun saya mau. Namun, nasi telah menjadi bubur. Lagi
pula saya tidak boleh kekanak-kanakan, bahkan Rasulullah pun berkata tuntutlah
ilmu meskipun harus ke negeri Cina, si Alif Fikri saja rela (yang baca Negeri 5
menara pasti tahu) merantau dari Padang ke Tanah Jawa yang dipisahkan oleh unsur geografis laut dan
gunung, masa tinggal naik buss
Cipularang AC empat jam antar kota saja bisa-bisanya ngeluh Bandung – Bogor kejauhan?
Yah emang ga deket juga sih.
O ya satu lagi, berbeda dengan pendidikan jenjang sebelumnya ketika saya hanya memikirkan bagaimana soal belajar dan berorganisasi. Kali ini saya juga harus memikirkan bagaimana caranya bisa survive di perantauan.
Bagaimana bayangan saya mengenai
perkuliahan? Bagi saya, seorang fresh
graduate SMA, kuliah tampak berbeda sekali dengan yang namanya sekolah. Di
jenjang ini, saya tidak bisa lagi berleha-leha terhadap tugas dan tanggung
jawab yang diemban. Pengajar kuliah sama sekali tidak ambil pusing terhadap
apa-apa yang terjadi pada diri kita. Dosen bukanlah guru di sekolah, bagi
mereka kita adalah orang dewasa yang ‘memilih’ dan tidak perlu disuapi lagi. Maka
jangan harap akan ada sosok guru seperti di SMA yang baik hati dan
ngejar-ngejar kita supaya tidak lupa mengerjakan tugas, mengingatkan belajar,
ataupun sekadar bilang “Nak, kalo ada apa-apa bilang ibu/bapak ya. Ntar saya
yang urus.” Yah mungkin ada juga dosen yang seperti itu, tetapi menemukannya
bagai jarum di tumpukan jerami. Di masa kuliah, mahasiswa dituntut mandiri dan
aktif mencari ilmu sendiri.
Lantas bagaimana rupa
pembelajaran saat kuliah itu? Menurut saya kuliah hampir serupa dengan seminar,
workshop, dan sejenisnya. Jika kultum merupakan ceramah yang durasinya kurang
lebih 7 menit, mungkin kuliah di perguruan tinggi hanya berbeda soal durasi
waktu. Lebih panjang. Tidak menutup kemungkinan lebih membosankan bila
pembawaannya monoton, mengingat kultum
saja yang notabene sebentar seringkali membuat orang ngantuk apalagi kuliah
formal? Saya pribadi ngeri kalo nanti saat kuliah mendapatkan dosen yang ‘kolot’.
Bukan bermaksud merendahkan dosen yang lebih tua, ‘kolot ‘ di sini maksudnya
enggan mengikuti perkembangan zaman ataupun tren masa kini sehingga
pembawaannya cenderung kaku dan tidak mudah dimengerti. Saya berharap dosen
yang mengajar memiliki prinsip public
centered, bukan self centered,
karena siapapun bisa mengajar, tetapi hanya pengajar yang berhasil, yang bisa
membuat orang lain paham atas pengajarannya.
Saya juga tidak suka dengan dosen
yang terlalu text book ataupun
terlalu fokus terhadap materi tanpa memberikan korelasinya dengan kehidupan
yang membuat mahasiswanya paham. Kalau hanya menyampaikan materi yang sudah ada
di buku atau slide, saya rasa dosen dan mahasiswanya tidak perlu bertatap muka,
cukup menonton video atau membaca, kuliah yang seperti itu bisa saja
diberlangsungkan. Akan tetapi, bukan kondisi perkuliahan seperti itu yang saya
harapkan, saya ingin setiap keluar kelas ada ilmu baru yang bisa diaplikasikan
di kehidupan, bukan sekadar hapalan yang bisa diucapkan.
Lalu, saya khawatir dengan
kefleksibelan jam kuliah. Katanya kerap kali ada waktu kosong yang panjang di
sela-sela pergantian mata kuliah. Kadang satu hari hanya ada satu mata kuliah
saja, sungguh tidak efektif. Padahal satu hari bisa digunakan untuk mahasiswa
perantau seperti saya pulang ke rumah. Kira-kira bagaimana cara untuk
mengisi kekosongan waktu tersebut? Pergi ke perpustakaan untuk mencari
referensi tugas mungkin sudah menjadi solusi umum yang paling efektif. Pilihan
lainnya adalah bersenda gurau, meeting
UKM, makan, berjualan, dan lain sebagainya. Jadi mahasiswa memang harus
pintar-pintar menggunakan atau bahkan mencuri waktu. Jika tidak, segalanya akan
keteteran. Saya benar-benar akan merindukan sistem paketan di masa SMA, meski
capek, dan jadwal padat, tetapi semua itu rasanya efektif, dibandingkan kuliah
dengan jeda waktu panjang yang bisa menjadi terbuang sia-sia. Segitu, kita tahu
dosen masih bisa meng-cancel jadwal
sesuka hati, bahkan memindahkannya menjadi pada saat weekend.
Kehidupan dan lapisan masyarakat
di dunia perkuliahan pastilah sangat beragam. Bedanya dengan SMA adalah akan
ada kelompok-kelompok aneh bin ajaib di luar dugaan yang memiliki ideologi baru
dan belum pernah kita kenal sebelumnya. Menemui seorang atheis sudah bukan hal
yang asing lagi. Kita akan leluasa masuk dan melebur ke dalam kelompok-kelompok
tersebut, begitu pula sama mudahnya dengan terpengaruhnya kita terhadap pemikiran-pemikiran
mereka. Oleh karena itu, dasar dan prinsip agama yang kuat harus kita pupuk
secara dini, agar tidak terjerumus dalam aliran-aliran sesat yang tidak
bertanggung jawab.
Mungkin saja dunia perkuliahan
tidak sesuram yang saya kira. Mungkin saja akan banyak kisah-kisah indah yang akan saya temui. Saya
hanya perlu menerima bahwa saya sudah menjadi seorang mahasiswa yang harus
mengubah pola pikir menjadi lebih dewasa dan berani mempertanggungjawabkan
sendiri segala pilihan yang saya ambil. Entah UKM yang nanti saya masuki, makul
pilihan yang saya pilih, atau rutinitas yang akan saya tempuh, semuanya
terserah saya dan saya juga yang akan memetik buahnya.
Komentar
Posting Komentar