Delapan Orang yang Suka Bikin Linglung Apabila Berpapasan:
Orang yg tidak banyak omong, tampang
judes
Rasanya serba salah untuk menyapa mereka. Kita tidak tahu kata apa yang
harus dimulai untuk berbasa basi karena ia tidak pernah memberitahu topik apa
yang ia sukai, sudah begitu tampangnya yang tidak ada senyum-senyumnya
seakan mengindikasikan bahwa ia tidak suka untuk disapa dan diajak
berbicara
Orang yang pernah terlibat cekcok
batin, kata, maupun fisik.
Atmosfer perang dingin rasanya jadi hambatan besar bagi kedua insan yang
pernah berseteru untuk saling menyapa. Rasa gengsi menjadi faktor terbesar yang
bikin mulut kita sulit untuk bicara. Bahkan, untuk sekadar senyum, kita kerap
khawatir kalo senyum kita akan menggapai ruang hampa dan malah menjatuhkan
harga diri kita.
Orang yang pernah kita kecewakan dan
ia diam tanpa pernah kita tau marah tidaknya.
Kalo ini masalahnya ada pada diri kita sendiri. Memulai dan berani untuk
menyapanya duluan adalah sebuah kebajikan. Memang rasanya seperti orang yang
tidak ingat dosa jika menyapanya dengan muka riang seolah kita tidak pernah
bersalah sebelumnya. Alasan itulah yang membuat kita ilfil. Namun, putusnya
silaturahmi jauh lebih gawat daripada rasa ilfil kita.
Orang yang kita kenal (tahu namanya),
tapi dia tidak terlalu kenal kita
Bagaimana rasanya tergerak hati ingin memanggil seseorang yang tidak akrab
dengan kita? Bahkan ia tidak pernah tahu apa – apa tentang kita, tetapi kita
mengenalnya? Niscaya kebanyakan dari kita memilih pura-pura untuk tidak
melihatnya saat berpapasan dan membuat diri kita berpikir bahwa kita juga tidak
mengenalnya.
Orang yang pernah berkecimpung dalam
suatu aktivitas atau sistem bersama kita, tetapi setelah itu tak ada kepentingan
yang berarti antara kita dan mereka.
Misalnya kita pernah ikut seminar yang sama, masuk dalam satu organisasi,
atau sama-sama menjadi panitia dalam suatu acara dengan orang itu. Kerap kali
sesudah itu kita dipertemukan lagi dalam suatu kesempatan yang tidak penting,
contohnya berpapasan di jalan. Karena tidak terlalu dekat dan akrab kita
menjadi bingung dalam pilihan: menyapanya atau pura – pura tidak melihatnya.
Tetangga di kompleks kita yang jarang
berinteraksi dengan kita
Ungkapan “Tetangga adalah ‘saudara’ yang harus kita perhatikan dahulu
daripada saudara kita yang jauh.” adalah benar adanya. Namun, ternyata
penerapannya bisa menjadi sulit saat intensitas interaksi kita dengan tetangga sangatlah
sedikit. Gengsi adalah kendala terberat untuk menyapa tetangga kita, dan banyak
dari kita berpikir: “Apakah kita harus selalu menyapa tetangga kita tiap kali
keluar rumah? Apa jadinya tidak membosankan dan berlebihan mengingat kita akan
selalu menjumpai mereka di lingkungan sekitar rumah kita?”
Orang yang memiliki kedudukan namun
tidak murah kata, di sistem tempat kita berkecimpung.
Antara ingin mendapat perhatian dari orang ‘penting’ itu, atau memang kita
harus menjalin silaturahmi sesama insan. Menjadi dilema yang kuat kalo nurani
kita menangkap bahwa orang ini tidak memiliki rasa menghargai orang lain.
Orang yang kita kenal dan ia mengenal
kita tetapi beda umur sangatlah jauh.
Contohnya seorang ibu berumur 50 tahun berpapasan dengan seorang ABG labil.
Sering terjadi timbulnya prasangka yang buruk antara kedua belah pihak entah
karena kurangnya rasa pengertian serta saling memahami, perbedaan pola pikir, dan
lain sebagainya. Faktor yang berperan adalah perbedaan nilai – nilai sosial dan
etika antara lingkup umur remaja dan umur dewasa.
NB : mengenai solusi untuk menanggulanginya, mohon maaf blogger sendiri belum menemukan cara yang tepat. Anda punya?
Komentar
Posting Komentar