Sepertinya Memilih ITB. Tetapi Tidak, Tunggu Dulu!


Mulanya saya sebagai seorang anak Bogor berpikir, masuk ITB adalah sebuah hal yang menyenangkan. Dari PTN ini telah lahir orang – orang besar, seperti Ir. Soekarno, Habibie, Pak Raden, dan lain sebagainya. Betapa  besarnya atmosfer persaingan dalam kampus ganesha ini.  Maklumlah, juara lomba nasional dan para penyandang predikat terbaik di sekolahnya berebut kursi untuk bisa kuliah di ITB. Saya yakin kalau pun memang ada orang yang pemalas atau kurang pinter ‘hoki’ masuk sini, minimal kecipratan dan kebawa – bawa semangat bertempurnya.

Lalu, ITB juga sepertinya merupakan tempat berlabuh bagi kenalan, teman, maupun sahabat saya. Saya bisa melihatnya dari wish list yang mereka tuliskan, presentase yang memilih ITB cukup dominan. Intinya, kalo saya masuk ITB bakal serasa masuk lagi ke lingkungan sosial smansa. Bagaimana tidak? Kakak kelas terbaik saya dari angkatan PK sampe angkatan BB juga banyak yang masuk situ. Tambah lagi sekarang teman – teman saya pada ikutan ke sana juga.

Udah gitu karena kebanyakan fakultas di ITB berorientasi pada teknik, katanya kalo nyari pekerjaan pasti gampang dapetnya, karena banyak perusahaan yang butuh orang – orang teknik, dan lagi,  karena sebagai ‘spesialis’ bayarannya pasti akan lebih mahal. 
Itu cuma denger – denger dari katanya, entah akurat atau tidak.

Saya terpengaruh dan jadi ingin masuk ITB. Meskipun begitu, saya masih bingung mau masuk ke fakultas mana. 

FTI? Katanya cuma kerja di lab. Saya sudah bosan dengan bau NaOH, dan sejenisnya.
FTSL di teknik sipil? Skill gambar saya kurang bagus.
FITB? Katanya cuma Geologi doang yang makmur di P*rtamina.
STEI? Ugh, gaptek adalah barrier yang cukup nyata untuk tidak memilihnya.
SITH? Denger – denger banyak yang lari ke luar negeri karena peneliti kurang dihargai.
SAPPK? Ohaha, di teknik sipil aja ragu, komo di sini!
FSRD? Ini apalagi, -,-“” . Masak cuma gambar dua gunung dan matahari senyum?

Oke walau begitu, ibu saya bilang kuliah itu belajar dari nol lagi. Nah, hal itu yang bikin saya tetep pingin masuk ITB. Sampai pada akhirnya…

Kok, saya ngerasa jarak Bogor ke Bandung itu jauh sekali yaaa

Teringat rambut orang tua saya yang sudah beruban, hati kecil saya merasa tidak tega jika harus meninggalkan mereka untuk menuntut ilmu. Bukan seminggu bukan sebulan dua bulan, tapi setahun lamanya….

Kata temen saya, dengan berkuliah jauh dari kota asal, jadi bisa melatih kemandirian. Sepertinya untuk hal itu saya sangat tidak keberatan. Akan tetapi sayangnya, bukan itu masalahnya. Saya begitu khawatir kalau orang tua saya ditinggal akan seperti apa jadinya. Mengingat keadaan mereka yang sudah sering sakit – sakitan.
Apa benar harus tetap ke ITB? Kan masih ada UI dan IPB? Kalo masih ada pilihan, kenapa tidak memilih alternatif yang paling aman?

Semakin lama saya memikirkannya, alasan – alasan kuat untuk melepaskan ITB semakin banyak bermunculan. Coba bayangkan saat nanti seorang diri kuliah di Bandung, mendadak dihantui dengan pikiran buruk mengenai kondisi orang tua yang mengharapkan kehadiran kita di rumahnya saat itu juga. Apakah bisa optimal kuliah dalam kekhawatiran seperti itu? Jangankan IPK 4,00, tugas dari dosen juga mungkin di ujung tanduk.

Saat Sanlat TAKBIR 2012 di sekolah saya dua hari yang lalu, seorang alumni smansa memberitahukan riwayatnya yang semasa SMA dulu masih jahil alias bejad. Namun, kemudian hidayah datang kepadanya ketika ayahnya meninggal dan pada waktu itu ia sedang kuliah jauh dari kota tempat tinggal orang tuanya sehingga ia sangat menyesal tidak dapat duduk di samping ayahnya dan mentaqlinkan kalimat Laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah kepadanya. Hal itu sangat membekas pada hatinya dan membuatnya kembali lagi kepada tiang agama.

Cerita kakak alumni itu tambah memantapkan hati saya untuk melepaskan ITB, dan menghilangkannya dari mimpi.

Pikiran dalam serabut saraf cerrebrum saya juga mengatakan bahwa satu – satunya untuk menjadi pribadi yang beda secara maksimal dari pribadi sebelumnya yang kurang baik, adalah dengan cara berpisah dengan kawan lama dan menemukan kawan baru agar hati menjadi kaya, dan kebiasaan diri bisa ter-upgrade kembali. Masuk akal bukan? Cara untuk menghilangkan labelling adalah memasuki komunitas yang baru,  dan berusaha berbuat yang sama sekali berbeda dan lebih baik di dalam lingkungan sosial tersebut. Karena khalayak yang belum tahu betul mengenai seluk beluk dan kebiasaan kita lebih mudah ‘mendengar’ daripada mereka yang sudah tahu aib dan kebiasaan kita.

Lantas apa hubungannya dengan ITB? Ya itu tadi warga smansa banyak yang berlabuh di PTN ini.

Jadi mungkin saya dengan berat hati harus melepaskan ITB, kecuali ada alasan yang sangat super duper kuat yang mengubah pemikiran dan kekhawatiran mengenai makna sebuah jarak.




Komentar

  1. aaaa mahen... like this post!
    Pertimbangan gue juga sama kaya lu kenapa gamau kuliah jauh-jauh, tapi kalo gue lebih karena adik siih heuheu~

    semangat mahe! UI aja bareng gue #amiiin

    BalasHapus
  2. @miru: ah adik lu mah ga usah diurusin, tinggal aja Mir hahaha. Aamiin Mir, tapi gue ga minat masuk Psikologi dan Fisip.

    @a wawi: o iya FMIPA, FTTM, FTMD, SF, sama SBM ngga saya sebutin :P Atuda banyak pisan a, yang sepintas kepikiran aja haha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB

Pantun Memantun Bersama Nabila