Cerita dari Pergi ke Pergi

Remaja muda itu menyisir rambutnya, berpakaian rapi, dan memakai wewangian. Cuaca yang cukup cerah di malam minggu sangat mendukung untuk pergi ke luar. Dengan wajah berseri-seri ia mempersiapkan bawaannya, jangan sampai ada yang tertinggal. Penampilan yang mendadak rapi tentu saja memancing pertanyaan lumrah yang tak dapat dihindari.

"Mau ke mana?"

Ia menjawabnya dengan santai. Cukup satu kata saja, yang terdengar seperti nama buah berwarna kemerahan. Beberapa varian memiliki warna hijau, hanya saja perihal yang dimaksud memiliki pelafalan huruf vokal yang sedikit berbeda: Apel. 

Orang-orang di rumah hanya bisa menduga-duga dengan jawaban itu. Singkat, padat, dan penuh rahasia. Pergi ke bioskop, taman ria, atau mungkin tempat hiburan yang tak biasa. Ia bisa pergi ke mana saja. Jiwa muda anak kemarin sore yang ingin menentukan dunianya sendiri, tak bisa dilarang. Motor itu pun akhirnya pergi, menyisakan sayup-sayup keriuhan di kejauhan.

Di usianya yang masih belia, anak muda yang baru saja pergi itu belum mengenal tanggung jawab dan kewajiban apapun. Ia cuma perlu rajin belajar dan menikmati masa mudanya. Jiwanya bebas dan belum harus menjalani pahitnya rutinitas pulang-pergi. Aktivitas mencari nafkah setiap hari yang mendukungnya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. 

Awal yang baik karena rencananya terlaksana tanpa hambatan. Ia akan sampai di depan rumah itu, menemui dambaan hati, dan mengajaknya merayakan suasana malam. Bulan purnama yang tampak bulat sempurna seolah mendukung apa yang hendak dilakukannya. Ia ingin segera sampai di kawasan danau yang dipilihnya bersama sang kekasih. Membicarakan apa saja yang menyenangkan sambil melihat Gumusservi. Cahaya bulan yang bersinar di permukaan danau, akan menjadi salah satu kenangan yang dapat menjadi selingan manakala mereka sudah saling bersama nanti.

Tak lama motor itu  memasuki gerbang salah satu perumahan elite di kotanya dan ia pun sampai di depan sebuah rumah bertingkat dengan desain hunian bergaya Eropa. Ia kemudian memanggil dan seseorang menyahut dari dalam. Tatkala daun pintu terbuka, ia menemukan kenyataan yang sama sekali jauh berbeda dari bayangannya.

"Aku gajadi pergi. Keluargaku mau ke Johar, berangkatnya malam ini. Aku juga baru dikasih tau dadakan. Kamu dihubungi dari tadi ga bisa-bisa." Gadis itu berkata dengan berat hati.

Anak muda itu sangat terkejut. Ia sangat kesal tetapi tetap mencoba menjaga nada bicaranya.

"Yaah, aku udah sampai sini juga. Kamu ga masuk dong Senin besok."

"Iya, nanti wali kelas bakal dikabarin kok. Ada urusan mendesak, aku juga ga terlalu paham urusannya apa dan kenapa tiba-tiba banget kayak gini. Maaf yaa," ujar gadis itu menjelaskan.

"Oke, gapapa kook. Kabar-kabari ya nanti kalau udah di sana."

"Iyaa."

Seolah tak ingin memperlihatkan kekesalannya lebih lama, anak muda itu pamit dan bergegas pergi. Namun, sepanjang perjalanan ia sontak meluapkan emosinya. Menggaungkan suaranya pada setiap sudut jalanan dan tikungan yang dilalui. Ia memarahi dirinya sendiri. Mengapa tak mempersiapkan ponsel penuh daya sedari sore sehingga ia tak perlu membawa pulang kabar memilukan yang menurutnya sangat memalukan? Saat itu hal sekecil apapun rasanya ingin ia jadikan sebagai penyebab dari kegagalan rencananya. Ia tak tahu haruskah segera pulang atau pergi dulu ke tempat mana saja untuk menenangkan diri. Ia mungkin masih belum cukup banyak mengalami berbagai hal, tetapi kepahitan yang dialaminya malam ini, terasa begitu nyata. Hubungan dua anak remaja yang masih belum mengenal benar dunia nyata yang sesungguhnya, merenggang tak lama setelah itu.

Usianya beranjak dewasa. Anak muda itu kini sudah besar, dan lebih bijak memaknai setiap kata pergi dalam hidupnya. Pergi erat kaitannya dengan kata pisah. Tak semua orang bisa mengucapkan dengan lantang bahwa ia ingin berpisah. Sebagian orang hanya terlihat dari tindakannya, tampak sederhana sehalus isyarat yang mengisi ruang di udara, tetapi kita sudah bisa tahu kalau ia tak mengharapkan lagi hubungan itu untuk dilanjutkan.

Toh, semua orang memang akan pergi jika masanya sudah habis. Ada yang sempat berpamitan, adapula yang pergi begitu saja tanpa ada kabar barang sedikitpun. Ia tak perlu bersedih terlalu ramai seperti dulu, karena itu adalah hal yang wajar. Ia hanya perlu menyiapkan gilirannya. Beberapa orang mungkin akan tinggal. Boleh jadi malah dirinya yang berikutnya akan meninggalkan orang-orang itu. Setidaknya ia akan berusaha pergi baik-baik dengan mengutarakan alasan mengapa ia pergi.

Pergi adalah perihal melanjutkan perjalanan baru.

Jikalau tiba saatnya ia akan benar-benar pergi, ia harus pergi dengan tenang.



 







 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB