Hikayat Pulau Biduan


Disclaimer: Terinsipirasi dari seorang penulis novel, Ugo Untoro, yang menurut saya cukup tidak biasa berjudul Cerita Pendek Sekali, saya akhirnya menulis cerita yang juga tak kalah pendek ini (atau sebenarnya ini hanyalah alasan semata karena yang sebenarnya ialah cerita ini belum rampung, dan akan segera di-update).

Minu, nama seorang pria paruh baya kelahiran pulau Biduan itu, begitu panik ketika melihat percikan api berlanjut asap yang mengepul dari mesin kapal yang ditumpanginya. Air tawar, hanya itu yang menjadi harapannya sekarang. Tak peduli pekik berang bos anak buah kapal yang ada di hadapannya, seberapa panik para turis mengambil pelampung dan mengemas barang elektronik mereka seapik mungkin,  ia hanya terus dan terus mengamati kondisi terakhir dari mesin yang terbatuk-batuk itu. Keringat bersimbah di sekujur tubuh tak terelakkan lagi. Sepelik apapun kondisinya, keselamatan penumpang tetap harus diprioritaskan. Selanjutnya tali, tali yang putus harus tersambung kembali, ia tak ingat sudah seberapa lama kapal itu melambat, dan akhirnya kembali menderu dengan putaran kincir yang kencang. Saat-saat sulit terlampaui sudah.

Minu, seorang berperawakan ideal yang kata orang lebih cocok jadi artis tenar di ibukota, harus memendam potensinya karena, kondisinya yang kurang menunjang untuk mencoba mengadu nasib di ibukota. Ia harus puas menjadi seorang anak laut dan berdedikasi pada bidang wisata bahari, sampai akhir hayatnya, setidaknya itu yang ia pikir.Minu sudah tahan dengan asinnya air ketika berwudhu dan sikat gigi. Minu juga termasuk dalam jajaran daftar lelaki paling bikin para wanita naksir standar pulau biduan, tentunya denga kulit tannya karena efek melaut berlarut-larut. Minu sudah cukup puas dengan itu, di pulau yang bisa dijamah dengan motor selama 30 menit ini. Ia sesekali tertawa dalam diam ketika melihat raut wisawatan yang takut-takut tatkala kapal terombang-ambing arus laut begitu kuatnya, sedangkan ia dengan santainya berjalan di perimeter kapal, dari depan ke belakang, dan kembali ke depan.

Tak hanya daratan Jawa yang menjadi jajahan tiran penguasa parkiran, pulau emas pun memungut biaya dari kapal yang memarkir. Ah entah apa jadinya jika setiap pulau ada bayar parkirnya seperti ini? Pikir Minu. Entah siapa yang memulai sistem parkir harus bayar begini, gampang sekali cari cuan, padahal pulau yang disinggahi tak bertuan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB

Pantun Memantun Bersama Nabila