Racauan Survive di Fase Quarter Life Crisis

Disclaimer: penjelasan yang ada di postingan dan juga blog ini secara keseluruhan hanyalah hasil buah pikir penulis sesaat dari obrolan orang-orang tanpa melalui riset lebih lanjut. Apabila ada penjelasan yang bersifat 'kurang menjelaskan', semata-mata karena hal itulah yang terbesit di pikiran penulis pada saat menulis postingan ini dan postingan-postingan lainnya.

Hai, Apa kabar? Buat kalian yang sudah melewati fase kehidupan hampir 25 tahun lamanya, saya ucapkan selamat. Pada hari ketika tulisan ini dibuat, usia saya sudah hampir memasuki 24 tahun (detik-detik menuju hari ulang tahun memang selalu menegangkan bukan, hei kau akan menjadi semakin tua, waspadalah!)

Kemudian kesannya bagaimana menurut kalian? Apakah dunia kedewasaan ini begitu kompleks? Tepat sekali. Saya masih ingat mengenai terminologi apa itu seni, di buku SMP Seni Budaya. Ada begitu banyak ahli yang menjelaskan terminologi dari seni, bisa mencapai 27 orang! Versi ekstremnya bisa dilihat di laman berikut: https://ilmuseni.com/dasar-seni/pengertian-seni-menurut-para-ahli. 

Bukankah ini mencengangkan? Itu baru penjelasan mengenai apa itu seni. Ternyata setiap orang yang sudah melalui masa yang dianggap sebagai quarter life crisis mereka, memiliki perspektif masing-masing tentang apa yang disebut sebagai seni itu sendiri. Belum kalo ditambah embel-embel rupa, musik, hias, dan lukis.  Alhasil kombinasinya akan semakin beragam lagi. Weleh-weleh! Waktu SMP saya masih tidak mengerti itu, pikir saya ah apaan sih nih orang kok saling berebut ngasih pendapat mereka, satu aja cukup keles. Ternyata kondisi hidup ini memang seperti itu. Tidak sekadar soal hitam dan putih. Hanya dengan mengakomodasi sisi abu-abu lah diri ini justru bisa mengerti sepenuhnya cara bertahan hidup. Semakin sering kita terlampau mendefinisikan dan mengotak-kotakkan, semakin pusing kepala dibuatnya. Oleh karena itu kita lebih sering disarankan bertindak alih-alih terlalu fokus memikirkannya. Bertindaklah pada waktu yang tepat, berpikirlah sebelum waktunya lewat! Kira-kira begitu.

Ya di fase ini, saya dihadapkan hal yang paling saya hindari: relativitas. Saya lebih suka saya berencana maka saya sukses. Bukan harus rombak lagi di akhir, yang maknanya lebih mendekati ke Gimana ntar! Lah kalo gitu ngapain direncanain jauh-jauh hari banget kalo emang lapangan hari-H tuh dinamis? Mending kalo cuman di akhir-akhir, bisa disebut sebagai finishing touch. Lah ini kerap terjadi, di tengah-tengah? Lagi-lagi main rule kehidupan ini memang seperti itu. Tetap gigih walau timeline dan juklaknya harus berubah total, bahkan baru saja ketika melangkahkan kaki di anak tangga kedua, kan ngeselin banget udah ngerancang panjang-panjang, sejam berikutnya harus dirombak total lagi, tapi ya begitulah, harus persisten dan resilien di jaman now ini.

Kira-kira begitu, bagian dari Quarter Life Crisis (atau lebih tepatnya masalah terbesar hidup ini) yang paling berkesan menurut saya  adalah bahwa dunia ini sungguh relatif. Kendati hal ini bikin saya sadar kalo di-reject itu hal yang wajar (btw kalo di industri hold sama reject itu bahasa yang umum kalo mau ngirim produk ke pelanggan). Di sisi lain bisa jadi tricky juga karena jadi  males buat prepare dan studi pustaka di awal. Dari mulai teori punya gap sama praktik lah, preferensi tiap orang beda-beda lah, trennya tiba-tiba geser lah. Apa-apaan loh ini, seriusan beta ga bisa diginiin!! (Ceritanya pengen dibawa perasaan).

Kemudian, di fase ini orang-orang berlomba meraih value. Dari sesederhana ngeshare story IG mereka, ngeshare tulisan mereka (ya dengan kalian baca ini kalian turut serta mendefinisikan value saya), atau bisa melakukan hobi dan dibayar, betapa pekerjaan yang paling menyenangkan menurut Kang Emil (kita semua udah tau lah yah seberapa Value Delivered-nya beliau). Dan saya sebagai orang yang sebenarnya agak punya definisi sendiri soal value, menurut saya meraih value itu di usia dewasa muda kayak gini tuh gampang-gampang susah. Ya gimana ya, karena value saya saat ini memang masih seputar hal-hal yang membuat saya bisa layak untuk dibayar. Kemudian tercetuslah pemikiran bahwasanya performa tanpa audiens bukanlah prestasi. Bahwasanya formalitas  adalah cara ampuh untuk tetap menjadikan segala aktivitas punya value walau gada progres hasilnya, dan bahwasanya-bahwasanya lainnya yang tetep aja ga bakal ngasih saya value kalo belum ada pembuktiannya (dalam mendapatkan cuan, fulus, doku atau apalah itu namanya).

Gatau sih ya, memangnya sebenarnya hidup ini untuk apa lagi kalo bukan untuk memenuhi keinginan pasar. Kalau udah ga sesuai tren minat yang ada akan tergerus zaman dengan sendirinya kok. Masalahnya tuh permintaan pasar dapat menjadi sangat labil, besok pengennya produk yang warna-warni variannya, besoknya lagi pengen yang minimalis aja, besoknya lagi pengen barang yang ada di tahun 90-an, lah piye iki? Dikira segampang itu mengada-adakan barang yang udah telanjur dimodifikasi sesuai permintaan kemarin-kemarin? Kalau pabrik gede, tauan punya banyak stok inventorinya, lah ini yang ukurannya masih belum gede-gede banget, apalagi yang bisa diharapkan kalo tidak mengandalkan peribahasa tak ada rotan akarpun jadi? mengandalkan satu-satunya Bright point terbaik mereka yang bisa dimekarkan dan ditawarkan? Kadang egois memang sedikit perlu, siapa tau pelanggannya ada aja kan, tergantung segmentasinya, siapa tau. Memang kalo mau cari aman sih jadilah Jack of all trades, tapi balik lagi ke masing-masingnya loh, ga semua pihak bisa jadi semua pihak secara cepat. Kalo emang udah dasarnya bisa lebih berdampak  sebagai spesialis atau diferensiator, ya udah. Mungkin bisa lebih digeser sedikit demi sedikit aja bahasannya menuju generalisasi, biar tetep nyambung sama minat pasar yang dinamis, seekstrem apapun perubahannya.

Ya, akhir kata selamat kembali menjalani rutinitas yang semakin abu-abu setiap harinya. Semoga kalian bisa menjadi Generalis di waktu yang tepat, dan Spesialis di saat yang dibutuhkan. Mohon maaf kalo tulisan ini malah bikin makin bingung.

-Dari seseorang yang tidak ingin bingung sendirian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bermalam Ala Gelandangan di Ibukota

Pantun Memantun Bersama Nabila

Jangan Mau Kehilangan KTM ITB